Jakarta, CNN Indonesia --
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menginginkan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) terkait ratifikasi Anti Penghilangan Paksa di Hari HAM Internasional pada Jumat (10/12) mendatang.
Direktur Instrumen HAM Kemenkumham Timbul Sinaga menyebut pihaknya juga ingin agar Surpres tersebut dibacakan saat peringatan Hari HAM Internasional.
"Minimal tanggal 10 itu, Pak Presiden dalam pidatonya sudah menyampaikan bahwa ratifikasi antipenghilangan paksa dari sisi pemerintah sudah diajukan ke DPR. Minimal begitu," kata Timbul di Kantor Ditjen HAM Kemenkumham, Jakarta Selatan, Senin (6/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Timbul menerangkan keinginan tersebut sudah dibicarakan dengan Kantor Staf Presiden (KSP). Terkait itu, pihaknya mengklaim telah melakukan upaya-upaya agar Jokowi bisa mengeluarkan Surpres di hari yang sudah ditargetkan. Ia mengklaim, kemenkumham tak sendiri karena dari pihak Kemenlu, Kemenkopolhukam, hingga Kantor Staf Kepresidenan pun mendorong hal tersebut.
Timbul mengungkapkan saat ini pihaknya tengah menyelesaikan naskah akademik. Selanjutnya, Kemenkumham akan melakukam harmonisasi naskah akademik itu pada Selasa (7/10).
Jika harmonisasi rampung, kata dia, Jokowi bisa langsung menyusun Surpres tersebut dan menerbitkannya. Kemudian, Surpres tersebut diberikan dan diproses di DPR.
"Kita harapkan ini besok harmonisasi. Kemudian kita suratin ke Setneg untuk selanjutnya ada surpres ke DPR. Artinya dari pemerintah sudah bisa selesai kan tinggal di DPR," ujarnya.
Diketahui, Indonesia telah menandatangani konvensi Internasional tentang Anti Penghilangan Paksa pada 2010 silam. Namun, sampai saat ini pemerintah belum juga meratifikasi konvensi tersebut. Padahal, Kontras mencatat lebih dari 1.000 orang menjadi korban penghilangan paksa sejak 1965.
Buka halaman selanjutnya, desakan dari masyarakat sipil.
Pada awal pekan ini, Senin (6/12), Koalisi Antipenghilangan Paksa mendatangi Direktorat Jenderal (Ditjen) Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Kedatangan koalisi itu adalah untuk menyerahkan petisi desakan ratifikasi Antipenghilangan Paksa.
Perwakilan koalisi Syahar Banu mengatakan, kedatangannya itu sekaligus menanyakan tindaklanjut dari janji Direktur Instrumen HAM Kemenkumham Timbul Sinaga. Timbul berjanji ratifikasi akan selesai bertepatan dengan hari HAM Internasional yang jatuh pada 10 Desember.
"[Saat itu] mereka setuju bahwa ratifikasi akan dilaksanakan tahun ini dan Pak Timbul Sinaga sendiri mengatakan bahwa akan dilaksanakan tanggal 10 Desember sebagai hadiah kepada para aktivis HAM di Indonesia," kata Banu di Kantor Ditjen HAM, Senin siang.
Banu menyebut, penyerahan petisi itu juga bertujuan untuk memberi tahu Kemenkumham bahwa keinginan ratifikasi bukan hanya datang dari koalsi melainkan dari masyarakat secara luas.
Sampai saat ini, kata Banu, petisi itu sudah ditandatangani oleh 1.900 orang. Padahal, lanjutnya, petisi itu baru dibuka sebulan yang lalu.
"Dengan adanya dukungan dari masyarakat terkait petisi ini, pemerintah tahu bahwa yang butuh petisi ini yang butuh ratifikasi ini enggak cuma masyarakat sipil aja. Enggak cuma koalisi saja, tapi masyarakat umum juga berhak atas rasa aman," jelasnya.
Banu menyebut ratifikasi tersebut penting, karena pihaknya masih banyak menemukan kasus penangkapan terhadap warga sipil terutama saat melakukan demonstrasi.
Lewat ratifikasi tersebut, pihaknya berharap penghilangan paksa tidak lagi terjadi dan jelas penangannya.
"Kan kita tahu bahwa banyak sekali ketika ada demonstrasi itukan ada penangkapan penangkapan dari kepolisian bahkan kepada massa yang belum sampai di lokasi gitu. Nah kita kan selama ini enggak tahu mereka itu saat ditangkap tersebut dan tidak dapat diakses oleh kuasa hukum mereka itu statusnya apa. Apakah hilang atau kah bagaimana," ujar Banu.
"Kita berharap dengan adanya ratifikasi ini ada kejelasan hukum ketika orang bersuara di dalam negara demokrasi ini mereka tidak khawatir lagi bahwa mereka akan dihilangkan paksa," imbuhnya.
[Gambas:Photo CNN]
Terpisah, Timbul mengaku menyambut baik kedatangan KontraS. Ia juga mengklaim telah melakukan berbagai langkah guna mempercepat ratifikasi tersebut.
Namun, kata dia, terdapat beberapa hambatan dan penyesuaian dengan peraturan yang baru dikeluarkan terkait pembentukan Undang Undang. Sehingga, sampai saat ini pihaknya baru menyelaikan naskah akademik.
"Dulu kan kita harapkan sudah diratifikasi. Tapi karena ada UU terkait pembentukan perundang undangan itu yqng hatus kita sesuaikan," ujarnya.
Meski begitu, ia mengklaim pihaknya akan mengebut tahapan-tahapan selanjutnya. Ia berharap pada 10 Desember mendatang Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) untuk diberikan ke DPR.
"Kita harapkan ini besok harmonisasi. Kemudian kita suratin ke setneg untuk selanjutnya ada Surpres [tanggal 10) ke DPR. Artinya dari pemerintah sudah bisa selesai kan tinggal di DPR," ucapnya.
Diketahui, Indonesia telah menandatangani konvensi Internasional tentang Anti Penghilangan Paksa pada 2010 silam. Namun, sampai saat ini pemerintah belum juga meratifikasi konvensi tersebut. Padahal, Kontras mencatat lebih dari 1.000 orang menjadi korban penghilangan paksa sejak 1965.