Salah satu LSM yang vokal dalam hal pemberantasan korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai hukuman mati bukan merupakan jenis pemidanaan yang ideal bagi koruptor.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan hingga saat ini belum ada literatur ilmiah yang membuktikan bahwa hukuman mati dapat menurunkan angka korupsi di suatu negara. Ia menerangkan justru negara-negara yang menempati posisi puncak dalam Indeks Persepsi Korupsi atau dianggap paling bersih dari praktik korupsi tidak memberlakukan hukuman mati.
Menurut dia, hukuman ideal bagi pelaku korupsi adalah kombinasi antara pemenjaraan badan dengan perampasan aset hasil kejahatan atau secara sederhana diartikan pemiskinan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sayangnya, dua jenis hukuman itu masih gagal diterapkan maksimal. Dalam catatan ICW, rata-rata hukuman koruptor hanya 3 tahun 1 bulan penjara. Begitu pula pemulihan kerugian keuangan negara yang sangat rendah," kata Kurnia melalui keterangan tertulis, Rabu (8/12).
Kurnia menyayangkan perbaikan mendasar guna menunjang kerja penegak hukum untuk bisa menghukum maksimal pelaku korupsi juga enggan ditindaklanjuti oleh pemerintah dan DPR.
Terkait ini ia menyoroti RUU Perampasan Aset dan Revisi UU Tipikor.
"Dua regulasi itu selalu menjadi tunggakan, bahkan perkembangan terbaru juga tidak dimasukkan dalam daftar prolegnas prioritas 2022," imbuhnya.
UU Perampasan Aset ini lah salah satu indikator keseriusan negara dalam melawan korupsi, namun, sayangnya terus ditolak DPR dan pemerintah.Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman |
Lebih lanjut, Amnesty International Indonesia (AII) menentang hukuman mati untuk segala kasus tanpa terkecuali-- terlepas dari siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan, bersalah atau tidak bersalah, ataupun metode eksekusi yang digunakan.
Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid, menilai hukuman mati merupakan pelanggaran hak untuk hidup sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Ia menilai hukuman mati bukan solusi efektif dalam pemberantasan korupsi.
"Hukuman mati juga tidak terbukti menimbulkan efek jera. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa yang efektif untuk mengurangi tindakan kriminal adalah kepastian mendapatkan hukuman, bukan tingkat keberatan hukuman tersebut," ujar Usman.
Usman menambahkan,negara-negara yang menempati posisi puncak dalam Indeks Persepsi Korupsi atau dianggap paling bersih dari praktik korupsi juga tidak memberlakukan hukuman mati. Yakni Selandia Baru, Denmark, dan Finlandia.
Sebaliknya, negara-negara yang menerapkan hukuman mati untuk koruptor seperti China dan Korea Utara justru memiliki tingkat korupsi yang jauh lebih tinggi, beberapa di antaranya bahkan lebih tinggi daripada Indonesia.
"Karena itu, jika ingin menimbulkan efek jera dan memberantas korupsi, seharusnya Jaksa Agung dan aparat penegak hukum lainnya fokus untuk memastikan bahwa semua pelaku korupsi bisa dibawa ke pengadilan, bukan bermain retorika soal hukuman mati," ujar Usman.