Terpisah, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Mariana Amiruddin menyebutkan kasus kekerasan seksual yang dilapokan ke Komnas Perempuan meningkat tiga kali lipat sepanjang 2021 ini.
Data pengaduan ke Komnas Perempuan sebelumnya juga mengalami peningkatan drastis setiap tahunnya. Peningkatan 60 persen dari 1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020, dan tahun ini meningkat 2-3 kali lipat atau setara dengan 5.000-an kasus.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI juga mencatat adanya kenaikan dalam laporan kasus kekerasan pada perempuan. Dalam tiga tahun terakhir ada 26.200 kasus kekerasan pada perempuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2019 tercatat sekitar 8.800 kasus kekerasan pada perempuan, kemudian 2020 sempat turun di angka 8.600 kasus, dan kembali mengalami kenaikan berdasarkan data hingga November 2021 di angka 8.800 kasus.
Jenis kekerasan yang dialami perempuan paling banyak adalah kekerasan fisik mencapai 39 persen, selain itu ada kekerasan psikis 29,8 persen, dan kekerasan seksual 11,33 persen.
Lihat Juga : |
Melihat temuan itu, Mariana menilai bahwa kekerasan seksual khususnya pada perempuan memang masih menjadi hal yang tak terelakkan dari dulu hingga kini. Ia menilai, sejumlah orang menganggap perbuatan kekerasan seksual menjadi hal yang wajar.
Bahkan pelaku seperti suami dalam sebuah rumah tangga tidak menyadari bahwa perbuatannya tergolong sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Apalagi kemudian korban yang merasa tidak memiliki kuasa akhirnya memilih bungkam.
"Kekerasan seksual itu tidak ditanggapi secara serius karena budaya kita kan menganggap masalah pribadi itu masalah sendiri dan bukan masalah hukum. Kekerasan seksual, pemerkosaan, KDRT itu kan dianggap pribadi dan seperti bukan konsumsi publik," kata Mariana kepada CNNIndonesia.com, Kamis (9/12) malam.
Mariana kemudian mengungkapkan sejumlah perspektif korban selama ini yang mengadu kepada Komnas Perempuan. Mereka kebanyakan baru berani speak up setelah bertahun-tahun pulih dari traumatik yang dideritanya.
Salah satu korban yang mengadu bahkan baru mengingat kejadian perkosaan yang dialaminya setelah dua tahun. Ia mampu kembali mengingat setelah mendapat stimulus dari aktivitas hipnoterapi yang diikutinya dalam sebuah perkumpulan.
"Dan ada pula memang korban kalau sudah trauma ada yang sudah melupakan peristiwa itu tanpa dia sadari. Itu adalah mekanisme pertahanan hidup seseorang begitu itu yang dia lakukan," kata dia.
Hal-hal seperti itu menurut Mariana menjadikan kasus kekerasan seksual di Indonesia bak fenomena gunung es. Masih banyak kasus yang tidak terungkap lantaran korban merasa tidak akan mendapat dukungan. Tak sedikit, korban juga merasa kebingungan untuk mulai melapor dan mendapat panduan serta perlindungan.
Sementara Komnas Perempuan menurut Mariana masih sangat terbatas kapasitasnya untuk ikut membantu menyelesaikan seluruh aduan kasus kekerasan seksual. Mulai dari relawan yang kurang hingga pendamping psikolog, khususnya di daerah-daerah rural.
"Kita harus berbenah, harus disadari bahwa kasus ini korban semakin banyak dan tanggung jawab negara selain Komnas Perempuan juga dari KemenPPPA yang terlihat disepelekan kalau di struktur negara paling belakang," kata Mariana.
"Harus ada koordinasi lintas kemeterian atau lembaga seperti Kemensos untuk pemulihan korban, pendampingan, konseling. Atau dengan Kemenkes juga yang memberikan penanganan terkait kekerasan seksual yang berakibat pada fisik," imbuhnya.
Sementara dari proses penegakan hukum, Mariana tak bisa berbohong bahwa peran dan alur hukum Indonesia terhadap kasus kekerasan seksual masih belum tegak. Padahal korban memiliki HAM yang harus dipenuhi.
Hak korban tersebut adalah meliputi hak penanganan, perlindungan dan pemulihan yang bertujuan mencegah ketidak berulangan kekerasan seksual dan dampak yang berkelanjutan terhadap korban. Negara wajib memenuhi hak-hak korban dan pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban.
Mariana mendorong agar pengesahan RUU TPKS mampu mengakomodir segala 'kecacatan' proses hukum pada korban kekerasan seksual saat ini. Ia juga meminta agar masyarakat mulai melanggengkan budaya dalam memahami perspektif korban.
Namun demikian, Mariana juga menyoroti perubahan cara pandang masyarakat akhir-akhir ini terhadap kasus kekerasan seksual di Indonesia. Melalui sosial media, nyatanya masyarakat mulai menggaungkan dukungan untuk para korban kekerasan seksual.
Dengan fenomena itu, ia berharap agar pemahaman masyarakat tentang definisi kekerasan seksual juga semakin luas. Sementara para korban yang awalnya masih memilih bungkam karena takut akan 'penghakiman sosial' didorong untuk mulai berani speak up.
"Mungkin ini semacam evolusi informasi dan pemahaman publik, dan juga termasuk media ya. Dan juga bahkan saya lihat dalam sidang Panja Baleg DPR RI soal draf RUU TPKS, saya melihat perspektif banyak anggota itu juga lumayan, beberapa dari pandangan lelaki juga sudah lumayan memahami, akhirnya," ujar Mariana.
(khr/ain)