Sosiolog Universitas Gajah Mada (UGM), Achmad Munjid mengatakan bahwa korban kekerasan seksual kerap kali sulit melapor karena dihantui rasa ketakutan.
Ia menyinggung bahwa kebanyakan korban merupakan orang yang biasanya berasal dari kelompok lemah. Misalnya, kata dia, anak-anak, ataupun keluarga dengan perekonomian yang rendah. Hal itu, kata dia, juga terefleksikan dari kasus kekerasan seksual di Bandung.
"Mereka masih remaja belia, perempuan pula. Kebanyakan korban dihantui ketakutan, kalau pun bicara, siapa yang mau percaya?" ucap Munjid saat dihubungi terpisah.
Munjid menggambarkan fenomena tersebut sebagai suatu hubungan relasi yang timpang. Dimana, pelaku merupakan tokoh yang memiliki kekuatan di suatu lembaga --seperti guru, pembina, pengasuh, dan lainnya--.
Sementara, korban seringkali merupakan orang-orang yang dititipkan di lembaga tersebut sehingga tidak memiliki kekuatan untuk melawan kehendak pelaku.
"Si guru agama yang nggak bener itu, dengan posisinya yang sangat powerful punya kesempatan besar untuk menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya. Dia berada di 'atas angin'," jelasnya lagi.
Sehingga, ia meyakini bahwa fenomena tersebut faktor utamanya bukan terkait agama. Tetapi, kata dia, penyalahgunaan kekuasaan dalam relasi gender yang seringkali timpang.
Menurutnya, kasus tersebut memberikan wanti-wanti kepada publik agar tak percaya seutuhnya kepada pengelola keagamaan. Hal itu, kata dia, termasuk juga di kelompok agama lain.
"Ketika ternyata pengelola lembaga keagamaan itu adalah orang yang nggak bener, seperti kasus di Bandung itu, ya terjadilah. Dan terjadi berulang-ulang. Korbannya banyak sekali," kata dia.
Munjid menggambarkan kasus tersebut sebagai fenomena 'pasal gelap Islam'. Dimana, orang banyak menggunakan simbol-simbol keagamaan seperti Islam agar disukai oleh orang.
"Karena demand publik tinggi, supply harus tinggi. Banyak orang melihat itu sebagai peluang untuk memainkan peran, untuk mengambil keuntungan. Muncullah pasar gelap," tambahnya.
Oleh sebab itu, menurut dia penting agar anak-anak mendapat pemahaman yang cukup terkait edukasi seks dengan bahasa yang dapat diterima baik oleh dirinya.
Kemudian, kata Munjid, Undang-undang perlindungan terhadap kekerasan seksual perlu untuk ditegakkan. Publik, dijelaskan dia, harus lebih kritis dalam menyikapi segala bentuk pelecehan ataupun kekerasan seksual.
"Dalam kaitannya dengan lembaga keagamaan, pemerintah bertanggung jawab memastikan agar setiap organisasi yang mengelola pendidikan anak-anak perlu mendapat izin dan diaudit secara terbuka," ujar dia.
"Adalah tanggung jawab negara juga untuk memastikan agar anak-anak yang sudah jadi korban ini bisa mendapatkan perlindungan dan pendampingan," tambahnya.