Jakarta, CNN Indonesia --
Hampir dua tahun pandemi Covid-19 merebak di dunia, termasuk Indonesia. Tahun ini menjadi tahun berduka bagi Indonesia lantaran puluhan ribu nyawa melayang setelah terpapar virus corona.
Indonesia mengalami gelombang kedua penyebaran Covid-19 pada pertengahan tahun, selepas libur Idul Fitri 2021. Kasus positif harian melonjak signifikan dan memecahkan rekor tertinggi.
Satuan Tugas (Satgas) penanganan Covid-19 mencatat pertambahan kasus positif covid-19 pecah rekor pada 15 Juli dengan 56.757 kasus. Secara kumulatif, jumlah orang yang terpapar virus Covid-19 saat itu menjadi 2.670.046 kasus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Para periode Juni sampai Agustus, pertambahan kasus harian memang sedang tinggi-tingginya. Satgas mencatat pertambahan kasus harian pada periode itu konsisten di atas 10.000 kasus per hari.
Hal itu berimbas pada tingginya tingkat keterisian tempat tidur (BOR) di sejumlah rumah sakit rujukan. Pada 8 Agustus, Kemenkes melaporkan, BOR di 16 kabupaten/kota mencapai 100 persen. BOR ICU dan isolasi di 12 kabupaten/kota turut mencapai 100 persen.
Saat itu, pemerintah menyiasatinya dengan menambah kapasitas tempat tidur di setiap rumah sakit. Namun, upaya tersebut juga masih belum cukup.
Sejumlah rumah sakit membangun tenda darurat. Di RSUD M.Zein, Painan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat misalnya. Satu tenda dibangun dan dapat menampung delapan pasien Covid-19. Tenda itu dibangun lantaran tempat tidur yang telah ditambah dari 18 menjadi 41 juga tak cukup.
Sejumlah RS di Jawa Barat juga turut melakukan hal yang sama. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat membangun tenda di enam RS. Masing-masing adalah RSUD Al Ihsan di Kabupaten Bandung, RSUD Majalengka, RS Sumber Waras Cirebon, RS Paru Cirebon, RS Mitra Plumbon Cirebon, dan RSUD Subang.
Selain BOR yang tinggi, stok oksigen untuk pasien Covid-19 saat itu menjadi barang yang langka. Sejumlah rumah sakit kehabisan stok oksigen, seperti di RS Immanuel Bandung dan RSUD Cibabat Cimahi.
Saat itu, Menkes Budi Gunadi Sadikin akhirnya memutuskan untuk mengonversi 75 persen oksigen untuk industri menjadi medis. Langkah itu diharapkan bisa memenuhi kebutuhan oksigen pasien Covid-19.
"Kami sudah mendapatkan komitmen daripada supplier oksigen ini bahwa mereka bisa mengalihkan kapasitas oksigen untuk industri ke medis," kata Budi dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (25/6).
 Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi Infografis Kematian Covid-19 Melonjak saat PPKM Darurat |
Puncak Kasus Kematian
Pasien terus berdatangan, sementara RS penuh dan stok oksigen minim. Banyak pasien berguguran. Apalagi, pasien dengan penyakit penyerta atau komorbid. Satgas mencatat pada 6 Juli sampai 27 Agustus, pertambahan kasus kematian selalu di atas 500 orang per hari.
Bahkan pada 27 Juli, Indonesia mengalami puncak kasus kematian selama hampir dua tahun pandemi. Pada hari itu, Satgas mencatat 2.069 orang meninggal akibat Covid-19 dalam kurun waktu 24 jam. Total kasus kematian akibat pandemi saat itu tembus 86.835 kasus.
Tak hanya itu, tenaga kesehatan (nakes) yang juga berguguran karena ikut terpapar Covid-19 dan kelelahan harus menghadapi banyak pasien. LaporCovid mencatat ada 117 nakes meninggal di bulan Juni. Jumlah kematian nakes itu kemudian melonjak di bulan Juli dengan 502 kasus yang tercatat. Sementara itu di bulan Agustus, kematian nakes mencapai 150 kasus.
Banyak pihak, salah satunya Koalisi Masyarakat Profesi dan Asosiasi Kesehatan (KoMPAK) mengkritik. Mereka menyebut pemerintah tak bisa memberikan perlindungan kepada nakes dengan baik.
Satu per satu, permasalahan lain naik ke permukaan publik. Awal Juli mulai banyak ditemukan orang meninggal saat isolasi mandiri di rumah. LaporCovid19 mencatat 474 orang meninggal di rumah pada 1 Juli karena terpapar virus Covid-19. Jumlah itu terus mengalami peningkatan hingga 7 Agustus 2021 mencapai 2.850 orang meninggal saat isoman.
Saat itu, bahkan, sejumlah media Internasional menjuluki Indonesia sebagai 'episentrum pagebluk' global akibat tren penularan Covid-19 terus melonjak dan angka kematian tinggi.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Data Kematian Tak Sinkron
Sengkarut data kematian antara daerah dan pusat turut menjadi masalah di saat pandemi di Indonesia sedang naik-naiknya. Pasalnya, LaporCovid-19 mengungkap ada perbedaan yang cukup tinggi terkait data kematian Covid-19. Per Rabu (21/7), perbedaan data tersebut mencapai 20.431 kasus.
Data Analyst LaporCovid-19, Said Fariz Hibban mengatakan pihaknya mencatat total kematian akibat Covid-19 dari daerah mencapai 98.014 kasus per Rabu (21/7). Sementara, berdasarkan data Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 total kematian pada hari yang sama sebanyak 77.583 kasus.
"Jadi di sini gapnya semakin agak lebar sekitar 20 ribu-an. Kurang lebih begitu," kata Said di Youtube Lapor Covid 19, Kamis (22/7).
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur Sutrisno bahkan menilai data kasus kematian akibat Covid-19 saat itu tak layak untuk jadi dasar pengambilan kebijakan masa pandemi. Sebab, banyak kematian terkait Covid-19 yang tak dilaporkan serta angka tes yang rendah.
"Hati-hati data yang ada tidak memenuhi kaidah data qualified, data yang baik, data yang valid untuk dijadikan referensi para pengambil keputusan, kalau data yang sekarang ini digunakan saya khawatir hasilnya bisa kita lihat sekarang," kata Sutrisno, dalam konferensi pers virtual di kanal LaporCovid-19, Kamis (22/7).
Indikasinya, kata dia, sejumlah daerah di Jatim hanya melaporkan kasus kematian yang relatif kecil per harinya. Sementara, kasus meninggal terkait Covid-19 di lapangan jauh lebih besar.
Saat itu, pemerintah pusat lewat Satgas menyalahkan kedisiplinan tenaga ahli di pemerintah kabupaten/kota atau provinsi dalam melaporkan data harian perkembangan covid-19 di daerahnya masing-masing menjadi salah satu penyebab data nasional tidak bisa real-time dan masih belum mendekati kondisi riil di lapangan.
"Ada beberapa daerah yang kepatuhan pengisian belum baik. Jadi mereka menginput kasusnya, update sembuh dan meninggal tidak dilakukan, jadi kesannya jumlah kasus aktif tidak berkurang-kurang," kata Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Penanganan Covid-19 Dewi Nur Aisyah, Kamis (12/8).
Padahal, para epidemiolog dan LaporCovid19 mengatakan ketidaksinkronan data juga terjadi karena masalah pencatatan yang tak mengikuti arahan WHO. Organisasi kesehatan dunia tersebut mengatakan, kasus meninggal probable Covid-19 juga harus dicatat, namun pemerintah Indonesia ogah.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, alasan Indonesia masih menggunakan skema pencatatn itu karena untuk validitas.
"[Akan] tetap seperti saat saat ini, konfirm [tes positif]. Kan supaya data valid. karena validitas data," kata Nadia kepada CNNIndonesia.com, Rabu (28/7).
Gonta-ganti Kebijakan
Pemerintah kerap mengganti kebijakan guna menekan laju virus Covid-19. Pada 11 Januari 2021, pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali.
Kebijakan itu menuai kritik, terutama dari kalangan epidemiolog, salah satunya Hermawan Saputra. Ia berpendapat, pemerintah seharusnya menerapkan karantina wilayah atau paling tidak kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Menurutnya, hal itu harus dilakukan lantaran kasus Covid-19 mulai mengalami lonjakan usai libur Natal dan tahun baru (Nataru). Berdasarkan data Satgas, pada 30 Januari, kasus covid menembus 14.518 kasus per hari.
Selain dianggap lebih efektif menekan laju penularan, PSBB juga dianggap lebih mempunyai dasar hukum yang jelas yaitu UU Kekarantinaan Kesehatan.
Namun, setelah PPKM Jawa-Bali dianggap tidak lagi efektif, pemerintah tetap memberlakukan PPKM dengan skema mikro atau PPKM Mikro. Kebijakan itu diterapkan masih di tujuh provinsi yang sama dengan berbasis komunitas masyarakat hingga unit terkecil di level RT/RW.
Pada bulan Juli, pemerintah mengganti kebijakan menjadi PPKM darurat. Hal itu dilakukan menyusul lonjakan kasus yang tinggi hingga menembus di atas 20.000 kasus per hari.
Berikutnya, pemerintah saat ini menerapkan PPKM berbasis level, mulai dari 1 sampai 4. Menurut Jokowi, perubahan kebijakan dalam menangani pandemi ini merujuk pada situasi Covid-19 di tanah air.
"Kalau strategi kita tetap ya ditinggal sama virusnya kita. Kenapa kita berubah strategi, lapangan karena virusnya ini bermutasi, berubah-ubah. Pakai cara ini tidak bisa, pakai cara ini tidak bisa. Selalu berubah," paparnya.
Pada awal Desember, pemerintah berencana untuk mengantisipasi lonjakan kasus setelah Nataru dengan menerapkan PPKM level 3 di semua wilayah. Namun, tak lama pemerintah menganulir dan tetap memberlakukan PPKM skema level 1-3 sesuai daerah. Pemerintah beralasan saat ini Indonesia lebih siap menghadapi Nataru.
"Indonesia saat ini lebih siap dalam menghadapi momen Nataru. Testing dan tracing tetap berada pada tingkat yang tinggi meski kasus rendah, dan lebih baik dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam keterangan tertulisnya, Senin (6/12).
[Gambas:Photo CNN]
Ancaman Varian Omicron
Meski diklaim mulai terkendali, para epidemiolog mengingatkan kembali ancaman gelombang tiga karena adanya varian baru yaitu Omicron. Beberapa negara mengalami lonjakan kasus kembali akibat varian itu.
Di Indonesia, kasus pertama omicron pertama kali terdeteksi di Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet Pademangan, Rabu (15/12).
Orang yang terkonfirmasi terapar varian itu merupakan salah satu petugas di sana. Kasus itu kemudian baru diumumkan oleh Menkes Budi pada Kamis (16/12). Setelah itu dua kasus Omicron kembali dikonfirmasi. Masing-masing WNI yang baru dari Inggris dan Amerika Serikat.
Hari ini, Senin (27/12), pemerintah mengumumkan jumlah kasus Omicron di Indonesia sudah ada 46. Kasus diprediksi akan terus bertambah seiring masa libur tahun baru 2022.
Di tengah ancaman omicron itu, capaian vaksinasi lengkap di Indonesia belum sampai 50 persen. Budi menyebut, vaksinasi lengkap baru mencapai 38,16 persen dari keseluruhan populasi yang tercatat sebesar 270,2 juta orang
Selain itu, ketimpangan juga masih terjadi di sejumlah provinsi. Di DKI Jakarta, capaian vaksinasi pertama menembus 135.59 persen per 12 Desember. Namun, di Papua baru mencapai 26,61 persen.
Pada vaksinasi dosis kedua, DKI masih tertinggi yaitu 111,7 persen dan terendah berada di Maluku 23,14 persen.