Jakarta, CNN Indonesia --
Yahya Cholil Staquf terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2021-2026. Yahya menawarkan sejumlah perubahan, termasuk menempatkan ulang posisi dan sikap PBNU menjelang Pemilu 2024.
Di sela-sela "kampanye" pada 10 November lalu, Yahya menerima permintaan wawancara dari CNNIndonesia.com. Kami menemui Yahya di kediamannya, kawasan Jakarta Selatan.
Yahya membeberkan visinya memimpin PBNU. Ia ingin mengonsolidasikan kembali internal PBNU menjelang tahun politik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Joko Widodo itu yakin masalah konsolidasi membuat NU terjebak dalam politik praktis pada 2019. Ia tak ingin hal itu terulang kembali saat 2024 nanti.
Yahya juga menjawab sejumlah isu yang mendera PBNU di kepemimpinan Said Aqil Siradj. Ia bicara soal kritik tumpul PBNU kepada pemerintah hingga isu Palestina-Israel.
Berikut dialog CNNIndonesia.com dengan Yahya Cholil Staquf sebelum ia terpilih menjadi ketua umum PBNU 2021-2026.
Anda maju untuk menantang calon petahana Said Aqil Siradj. Apa yang Anda tawarkan ke warga Nahdliyin?
Dorongan saya ya dorongan tentang apa yang saya lihat sebagai kebutuhan dalam realitas NU hari ini. Ada sejumlah hal yang harus dikerjakan, saya tahu bagaimana mengerjakannya, saya sudah pernah melakukan model strategi yang mirip di Ansor (badan otonom PBNU Gerakan Pemuda Ansor) sebelumnya, sudah berhasil. Saya kira saya bisa kerjakan. Makanya saya tawarkan.
Mengapa hal itu penting?
Paling utama soal konsolidasi internal itu. Konsolidasi internal kita butuhkan segera. Kemarin bukannya secara sengaja NU mau berpolitik sebetulnya, tapi NU, katakanlah, terlibat dalam situasi yang kemudian menjadikannya masuk dalam politik, menjadi kompetitor di dalam pertarungan politik. NU sulit untuk mengelak dari keadaan itu. Menurut saya, persis karena konsolidasi yang belum siap, konsolidasi yang belum optimal.
Bahwa NU harus melakukan repositioning terkait dengan politik, itu jelas. Supaya repositioning ini menjadi langkah strategis yang memang membawa maslahat, ya harus dilakukan secara terkonsolidasi. Nah, kebutuhan konsolidasi itu sendiri bukan hanya terkait dengan repositioning, tapi juga terkait dengan kebutuhan untuk internal NU sendiri menghadapi tantangan-tantangan baru sekarang.
Kita lihat dunia hari ini ndak bisa dihadapi secara sporadis, ndak bisa dihadapi sendiri-sendiri, entitas yang terpisah satu sama lain, tapi harus dihadapi dalam strategi yang terkonsolidasi. Tantangan ini besar sekali. Itu sebabnya kebutuhan konsolidasi itu mutlak sekarang ini, tidak bisa ditunda karena apa yang kita persepsikan sebagai ancaman sudah semakin dekat. Dalam konteks itu, saya menawarkan diri.
Saya menawarkan agenda. Jadi, saya tidak cuma menawarkan diri saya untuk dipilih. Saya menawarkan agenda dan saya menawarkan diri saya untuk mengeksekusi agenda itu. Saya punya credential untuk memegang tanggung jawab pekerjaan itu. Itu saja.
Yang paling menggembirakan buat saya, bukan bertambahnya dukungan cabang-cabang, tapi makna di balik itu. Bahwa sekarang cabang-cabang ini berpikir tentang jabatan di dalam NU itu sebagai pekerjaan organisasi, bukan sekadar jabatan yang bisa dijadikan leverage untuk sembarang hal. Orang yang dipilih adalah orang yang tahu bagaimana mengerjakan ini. Itu sudah jadi cara berpikir cabang-cabang saat ini. Itu transformasi luar biasa.
Selama ini, yang ada kompetisi untuk mendapatkan leverage dan jabatan itu. Kemudian, setelah dapat leverage, bisa dipakai sembarang hal. Mungkin ada yang menguntungkan buat NU, tapi dengan cara yang menurut saya kurang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan strategis. Saya ingin memperkenalkan cara berpikir baru.
Said Aqil gagal melakukannya dalam dua periode kepemimpinan?
Bukan hanya dua periode. Ini sudah lama sejak tahun '50-an. Jadi, tesis saya kenapa NU tidak optimal kinerjanya? Karena konstruksi organisasinya tidak berubah sejak tahun '50-an.
NU ini didirikan sebagai organisasi yang eksklusif sekali, memang organisasinya ulama betul, kiai betul. Kalau tahun '26 itu saya daftar, enggak akan diterima karena tidak memenuhi standar kekiaian yang diterima waktu itu. Yang memenuhi standar kelasnya Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Abdul Wahab Hasbullah, gitu-gitu, elite sekali.
Kemudian, tahun '52, NU menyatakan diri sebagai partai politik. Berubah konstruksinya menjadi konstruksi organisasi massa politik, barang siapa mencoblos gambar NU, itulah orang NU. Nah, model organisasi juga berubah, mulai dari mindset, kemudian logika struktural, kemudian standar rekrutmen kepemimpinan, mentalitas, berubah semua yang tadi eksklusif menjadi parpol.
Jawaban Yahya Cholil Staquf berlanjut ke halaman berikutnya...
NU sudah withdraw dari politik sebetulnya bukan '84, sejak '79 sudah ada pernyataan untuk kembali ke khittah. Keputusan tahun '79, Muktamar ke-26 di Semarang kembali ke khittah. Politik dilakukan melalui PPP. Fusi tahun '73. Muktamar 1984 yang jadi rumusan adalah apa itu khittah nahdliyah.
Walaupun sudah ada konseptualisasi semacam itu, belum ada strategi transformasi konstruksi organisasi ini. Jadi, masih tetap mindset, logika struktur, pola-pola kegiatan masih konstruksi partai politik walaupun Gus Dur sudah inisiasi banyak hal baru ya dengan mencoba adopsi model NGO modern dengan berbagai macam program community development, capacity building, dan sebagainya. Tapi toh ini belum jadi strategi komunikasi yang komprehensif.
Buktinya apa? Mindset sekarang sebagian besar orang NU masih berpikir bagaimana cara paling efektif untuk bisa mengakses sumber daya pemerintah untuk dibawa ke NU. Ini kan mindset partai politik.
Ini menjadikan posisi NU menjadi banal. Mindset-nya masih partai politik, tapi secara ketatanegaraan dalam politik enggak ada slot. NU masih berpikir menteri agama jatahnya NU, tapi bukan partai. Ndak punya akses resmi pada agrerasi politik. Terlalu arbitrary cara mainnya NU ini.
Ke depan, kita harus atur ulang fungsi-fungsi ini. PBNU harus lebih difungsikan sebagai penanggung jawab agenda creation. Jadi, yang meng-create agenda itu nanti PBNU dan bertanggung jawab menjadi program-program yang dieksekusi di tingkat bawah.
Salah satu sorotan publik terhadap PBNU adalah politik praktis di 2019. Bagaimana Anda akan menjawab hal ini, terutama menjelang 2024?
Saya bilang sejak awal saya ndak mau menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. Saya tidak mau ada calon presiden dan calon wakil presiden dari PBNU. Supaya apa? Supaya PBNU tetap dalam posisi menjadi penyanggah di 2024.
Yang kemarin sudahlah. Ke depannya ini supaya jadi penyanggah. Di pihak lain, menurut saya, ini akan memperbaiki juga performa dari partai politik. Kalau terus-menerus orang modelnya cari calon presiden wapres dari ormas, ini kan dipikir calon presiden NU apa Muhammadiyah? Kalau terus-terusan begitu, kasihan aktivis partainya.
Bukankah itu menunjukkan kegagalan kaderisasi di parpol?
Itu satu hal, tapi salah kita, kok mau? Sekarang ini soal fundamental: Kita mau bikin demokrasi macam apa? Oke lah kita punya banyak kritik tentang parpol. Satu hal tidak bisa ditawar, parpol harus dibangun dan diperkuat demi demokrasi.
Kalau ndak, mau demokrasi pakai apa kita ini? Ini demokrasi kepartaian. Partai harus diperbaiki, didorong supaya jadi lebih kuat, lebih baik, lebih kredibel, dan seterusnya. Jangan dilucuti terus. Kalau rakyat kehilangan kepercayaan kepada parpol, bisa chaotic, bahaya itu.
Bagaimana kalau ada kader NU yang mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres di 2024?
Saya akan bilang pada teman-teman, jangan, tolong jangan nyalon presiden atau wapres walaupun harus keluar dulu. Sejak awal jangan lagi lah.
Kalau Anda ditawari, apakah benar-benar tidak bersedia?
Ndak. Kalau itu saya sudah pilihan absolut. Saya ndak akan. Saya sambil nyombong, saya katakan kalau cuma mau jadi presiden atau wapres, saya bisa enggak usah jadi pengurus NU. Saya kira saya bisa.
Apakah akan membuat NU kembali menjadi organisasi kritis terhadap pemerintah? Publik melihat akhir-akhir ini NU jadi bumper pemerintah.
Kalau selama ini NU menjadi bumper politik pemerintah, ini mungkin hanya kesan karena selama ini NU mengadang macam-macam artikulasi politik identitas. Saya kira cuma itu saja.
Kalau soal kebijakan-kebijakan spesifik, banyak NU bikin kritik. Omnibus law kemarin. Kalau soal itu, kita kritik. Kalau soal politik identitas, mohon maaf kita enggak mau, benar.
Anda selalu diserang soal kunjungan ke Israel beberapa tahun lalu. Bagaimana PBNU di bawah kepemimpinan Anda menyikapi isu Palestina dan Israel?
Pertama, betul saya datang ke Israel, Yerusalem, tapi saya datang bukan cuma ke Yerusalem. Ini orang pura-pura lupa apa enggak ngerti? Saya juga datang ke Amerika, Vatikan Eropa, Afghanistan, Mesir, Inggris. Saya datang ke semua tempat karena memang ini saya pahami sebagai tugas juga. Saya berusaha menghadirkan NU di berbagai titik problem internasional.
Kalau saya ketemu Netanyahu, saya ketemu wakil presiden Amerika. Saya ketemu Presiden Afghanistan, saya ketemu Taliban juga loh. Saya ketemu intelektual dan ulama-ulama Mesir, saya ketemu intelektual Turki, saya ketemu dengan Paus, saya ketemu dengan Presiden Uni Eropa. Ini bagian saja dari rangkaian panjang aktivisme internasional saya.
Kalau soal Israel dan Palestina, kenapa saya tetap datang ke sana? Jelas itu salah satu titik masalah internasional toh. Saya harus hadir dan sesulit apapun, ya ndak boleh kita putus asa. Memang sulit sekali. Ndak ada yang ndak sulit di dunia ini.
Ini sudah lebih 70 tahun. Orang melakukan semua yang bisa dilakukan, belum ada hasil. Kita tetap explore hal-hal baru, cara-cara baru mencari jalan keluar.
Israel itu tidak monilitik, kelompoknya banyak, macam-macam, bukan hanya satu kelompok. Yang ngundang saya ke Yerusalem untuk konferensi global itu AJC (American Jewish Committee), tapi bukan cuma AJC yang ngundang, ada WJC, World Jewish Congress, ada Institute Truman di Hebrew University, ada Women for Peace.
Dan yang harus diingat, sebelum saya ke Yerusalem itu orang sudah lupa dengan Palestina. Perhatikan berita-berita, enggak ada orang bicara Palestina, semuanya ngomong ISIS, ngomong radikalisme, ngomong terorisme. Bukan hanya di Indonesia, secara internasional. Semua proses perundingan macet semua.
Saya kira ini barokah Yerusalem. Ini jadi isu gede, bukan hanya domestik. Saya ke Yerusalem jadi isu besar bukan hanya di Indonesia, juga di dunia internasional. Isu besar betul.