Sementara dalam aspek keagamaan, Endang menilai Yahya akan terus melanjutkan penyebarluasan gagasan Islam Nusantara. Menurut dia, keduanya memiliki kesamaan untuk menentang ideologi Islam transnasional yang identik dengan kekerasan dan ekstemisme.
Endang menyebut Yahya akan melanjutkan proyek Islam toleran dan adaptif terhadap kebudayaan Nusantara.
"Kalau Pak Said kemarin memunculkan Islam Nusantara, Gus Yahya akan memperkuat kenusantaraan Islam itu," kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, pengamat politik BRIN, Wasisto Jati memberi nilai tambah pada Yahya yang selama ini dikenal memiliki jaringan luas di lingkungan Islam internasional.
Menurut dia, latar belakang Yahya yang aktif di berbagai forum dunia akan memberi keuntungan bagi NU menyebarluaskan gagasan Islam Nusantara.
Wasis menilai, wacana Islam Nusantara selama ini belum keluar dan banyak diterima di negara-negara Islam lain, terutama di dunia non-Arab. Oleh karena itu dia meyakini Yahya akan mampu membawa gagasan tersebut dalam forum dialog umat beragama di dunia.
"Saya pikir Gus Yahya bisa melakukan internasionalisasi Islam Nusantara itu sebagai wacana Islam global dan mungkin panduan utama dialog antar iman," katanya.
Di samping itu, Wasis turut menyoroti arah politik NU jelang proses tahapan Pemilu serentak 2024 mendatang. Dia menyarankan NU mestinya mulai memikirkan upaya preventif untuk meredam ekspresi politik warga Nahdliyyin.
Menurut Wasis, langkah itu penting agar warga Nahdliyyin tak membawa simbol organisasi dalam kerja-kerja politik praktis. Karena hal itu pula, menurut dia, NU selama ini kerap dipandang miring karena dianggap terlalu dekat pemerintah.
"Pengurus baru perlu menyiapkan aksi preventif agar manuver dan ekspresi politik per individu warga Nahdlyyin agar jangan membawa nama dan menggunakan simbol NU secara organisasi," katanya.
Wasis mengkritik hubungan NU yang dilihat terlalu harmonis dengan pemerintah. Akibatnya, NU dalam posisi itu kehilangan citra populis di masyarakat. Wacana keislaman NU hanya dipandang sebelah mata, dan tak banyak mendapat simpati.
Dampaknya, banyak masyarakat akhirnya beralih simpati pada gerakan-gerakan Islam populis, yang keras dan korektif terhadap pemerintah. Di sisi lain, kondisi itu kata Wasis, juga menunjukkan bahwa NU tak banyak hadir di tengah masyarakat untuk mengatasi berbagai persoalan.
"Ini menunjukkan bahwa terjadi kekosongan wacana religius maupun juga minimnya interaksi para pengurus NU sebelumnya dengan umat muslim Indonesia sehingga banyak yang kemudian bersimpati pada gerakan populisme Islam," kata dia.