Jakarta, CNN Indonesia --
Kabinet pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) saat ini memiliki total 23 kursi wakil menteri (wamen). Sembilan jabatan wamen di antaranya masih kosong.
Salah satunya jabatan wakil menteri dalam negeri yang baru diteken Jokowi lewat Perpres 114/2021. Selain itu, pada akhir 2021 lalu, Jokowi juga menelurkan Perpres 110/2021 untuk memberi ruang bagi wakil menteri sosial.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin menilai banyak posisi wamen ini merupakan bentuk bagi-bagi jabatan yang dilakukan Jokowi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi-bagi jabatan ini, kata Ujang, berkaitan dengan partai politik atau mereka yang mendukung dan membantu Jokowi untuk bisa melanjutkan kepemimpinan di periode kedua.
"Apa yang dilakukan oleh Pak Jokowi itu adalah bagi-bagi jabatan, bagi-bagi posisi yang belum tuntas gitu, artinya kan banyak partai politik yang belum dapat (posisi) sampai sekarang," ujar Ujang saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (5/1) malam.
Ujang melihat bagi-bagi jabatan untuk posisi wamen ini menjadi strategi Jokowi untuk memuaskan para pendukungnya.
Di sisi lain, Ujang juga menilai bahwa strategi ini diambil oleh Jokowi untuk tetap mengamankan diri hingga akhir masa jabatannya sebagai presiden.
"Sekaligus dengan maksud mengamankan jabatan sampai 2024, jadi bargaining posisinya seperti itu. Oleh karena itu, suka tidak suka, mau tidak mau, pak Jokowi melakukan hal itu," ujarnya.
Apalagi, menurut Ujang, posisi wamen ini sebenarnya tak diperlukan. Bahkan, lanjutnya, wamen sebenarnya tidak dibutuhkan masyarakat. Oleh karena itu, dia meyakini banyaknya posisi wamen ini hanya sekedar kepentingan politik semata. Bukan untuk mendukung kinerja pemerintahan.
Ditambah, posisi wamen ini jutsru berbanding terbalik dengan pernyataan Jokowi yang pernah menyinggung soal efisiensi birokrasi.
"Tapi faktanya, malah menambah birokrasi, menambah beban keuangan negara, ini yang menjadi catatan kita, ini yang menjadi persoalan," ucap Ujang.
Ujang menyebut bahwa selama ini 14 wamen yang telah ditunjuk oleh Jokowi pun tak menunjukkan kinerja yang berarti. Termasuk, para menteri di kabinet yang menurutnya belum menunjukkan kinerja maksimal.
"Faktanya rakyat tidak butuh jabatan wamen itu, ini kebutuhan politik saja antara Jokowi dengan pendukungnya," tuturnya.
[Gambas:Video CNN]
Baca halaman selanjutnya...
Senada, Direktur Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago juga menilai bahwa posisi wamen ini hanya sekedar bagi-bagi jabatan bagi para partai politik pendukung.
Sebab, kata Pangi, tak ada kepentingan atau urgensi dari ada atau tidaknya posisi wamen dalam kabinet pemerintahan Jokowi. Ia menilai keberadaan para wamen sejauh ini justru berbenturan dengan tugas pokok dan fungsi direktorat jenderal di bawah kepemimpinan menteri.
"Karena wakil menteri itu kan bisa digantikan oleh sekelas dirjen (Direktur Jenderal). Ada jabatan-jabatan strategis di kementerian., dan itu sebenanrya mereka jauh lebih berfungsi ketimbang wakil menteri," kata Pangi saat dimintai pendapatnya soal fenomena kursi wamen.
Lagi-lagi, posisi wamen justru menjadi tak efektif dan efisien. Sebab, justru malah semakin menambah beban negara, kaitannya dengan anggaran.
"Jadii politik akomodasi lebih menonjol DNAnya ketimbang DNA pada kinerja, itu yang saya cermati sehingga ini mungkin bagian beban pak Jokowi yang selama ini belum dapat pembagian jatah, yang sudah berjuang nah itu yang kemudian diisi dengan posisi wakil menteri," tutur Pangi.
Di sisi lain, Pangi menilai posisi wamen ini merupakan risiko dari Jokowi sebagai sosok yang penuh dengan kompromi.
Yang dimaksud Pangi adalah Jokowi selama ini tak pernah mau menyakiti atau merugikan salah satu pihak. Terutama, para pendukung atau koalisinya yang mana dalam konteks politik selalu ada sebuah timbal balik.
"Artinya untuk mengisi pos-pos itu dibuatkan saja pos baru, kavling baru saja enggak mau ganggu, enggak mau ribet lah dia dengan partai juga enggak mau pusing," ujarnya.
"Lebih kental sih politik balas jasa, untuk apa wamen, Jokowi juga tahu enggak ada gunanya, untuk apa ban serep yang enggak kepakai itu, tapi bagaimanapun itu penting untuk kepentingan politik supaya sama-sama seneng, sama-sama happy lah," imbuh Pangi.
Lebih lanjut, Pangi pun mengamini posisi wamen ini menunjukan sebuah inkonsistensi dari pernyataan Jokowi soal efektivitas dan efisiensi kabinet.
Sejurus dengan Ujang, Pangi menilai bahwa banyaknya wamen dalam kabinet pemerintahan Jokowi justru membebankan anggaran negara.
"Dengan wamen segitu banyak, karena mereka akan disiapkan mobilnya, kemudian kantornya, kemudian mungkin pakai staf ya, asisten tenaga ahli, dan lain sebagainya, intinya itu pemborosan sekali dan itu enggak cocok dengan prinsip beliau dulu soal penghematan anggaran," kata Pangi.
[Gambas:Video CNN]
Suara kritis juga datang dari kubu koalisi kabinet Jokowi-Ma'ruf, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB Luqman Hakim, menyinggung wacana reshuffle atau kocok ulang kabinet di balik langkah Jokowi menambah kursi wakil-wakil menteri.
"Apakah pengaturan wakil menteri itu semata dalam rangka memperkuat kinerja masing-masing kementerian? Atau bagian dari kemungkinan akomodasi politik besar-besaran kepada berbagai kekuatan sosial politik pada reshuffle kabinet yang akan datang untuk memperkokoh dukungan politik Presiden?" kata Luqman saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (6/1).
Bila langkah tersebut bertujuan untuk mengakomodasi kekuatan politik jelang reshuffle, Luqman pun mempertanyakan apakah Jokowi memiliki sebuah rencana jangka panjang yang hendak dicapai. Terkait pertanyaan-pertanyaannya itu, ia pun menyatakan bahwa hanya Tuhan dan Jokowi yang tahu.
"Wallahu A'lam. Hanya Allah dan Pak Jokowi yang tahu," tutur Luqman.
Diketahui dalam menjalankan pemerintahannya, Jokowi-Ma'ruf didukung sejumlah partai baik yang memiliki kursi di DPR RI maupun tidak. Salah satu partai bungsu pendukung Jokowi-Ma'ruf yang berada di DPR RI adalah PAN yang memang belum mendapatkan kursi di lingkaran istana.
Luqman pun meyakini, Jokowi masih akan membua jabatan wakil menteri di hari mendatang. Meskipun demikian dia berharap agar rencana perubahan struktur organisasi kementerian atau lembaga dikonsultasikan ke DPR lebih dahulu.Menurutnya, hal itu penting untuk membuka ruang partisipasi dan pelibatan publik dalam penyusunan struktur organisasi masing-masing kementerian secara lebih ideal berdasarkan tugas pokok, fungsi serta beban kerja setiap kementerian.
"Dengan demikian, setiap keputusan presiden untuk mengubah struktur oganisasi kementerian akan mendapatkan legitimasi yang kuat dari masyarakat, tidak dianggap sekedar keputusan elitis dari presiden," ucapnya.