Lansia yang tewas usai jadi korban pengeroyokan hingga meninggal di Pulogadung, Jakarta Timur, Wiyanto Halim (89) disebut sedang terlibat kasus sengketa lahan senilai Rp43 miliar.
Kuasa hukum keluarga Wiyanto Halim, Freddy Y Patty mengatakan kasus sengketa itu sudah bergulir sejak 1978. Namun, hingga ia meninggal, kasus sengketa itu belum selesai di meja hijau.
"Sejak tahun 1978 sampai hari ini beliau punya tanah di Tangerang dan sampai saat ini masih proses persidangan," kata Freddy dalam konferensi pers di Rumah Duka Grand Heaven, Jakarta Utara, Senin (24/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Freddy mengatakan kliennya tidak memiliki musuh kecuali dalam perkara sengketa lahan tersebut. Meski demikian, ia tidak mau berasumsi apakah pengejaran dan pengeroyokan terhadap Halim yang diduga dilakukan secara sengaja berkaitan dengan kasus tersebut.
"Jadi musuhnya cuma satu, pada perkara tanah, selain itu tidak ada," kata Freddy.
Terpisah, kuasa hukum keluarga Wiyanto Halim lainnya, Davey Oktavianus Patty mengungkapkan sengketa tersebut terjadi antara Halim dengan rekan satu kantornya. Saat kasus bergulir, orang tersebut meninggal namun perkara sengketa lahan dengan Wiyanto Halim dilanjutkan anaknya.
Adapun objek sengketa berupa lahan seluas 17 ribu hektare yang terkena pembangunan Jalan Tol di Tangerang dengan nilai Rp43 miliar. Saat ini, uang tersebut menjadi konsinyasi atau dititipkan di Pengadilan Negeri Tangerang.
Davey mengatakan pada 2008 kasus tersebut sudah sempat ditangani Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat. Kajian dari tim BPN menyatakan tidak terdapat tanah milik keluarga pihak lawan Wiyanto Halim dalam sengketa lahan tersebut.
Namun, belakangan BPN Tangerang memerintahkan para pihak melaporkan sengketa ini ke pengadilan. Akhirnya kasus tersebut kembali bergulir hingga akhirnya pihak Halim mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA).
Putusan PK MA menyatakan tidak ada pihak yang dimenangkan dalam sengketa tersebut.
"Tapi putusannya tidak memerintahkan sertifikat salah satu dibatalkan," kata Davey.
Namun, belakangan BPN Tangerang mengundang eks rekan Wiyanto Halim sebagai pemilik tanah tersebut. Padahal pengadilan belum memerintahkan mencabut sertifikat tanah milik Halim. Karena itu, Wiyanto Halim menilai tindakan BPN Tangerang mendahului putusan pengadilan.
"Ya karena pengadilan belum memerintahkan untuk membatalkan sertifikat almarhum dan menerbitkan sertifikat yang baru," tuturnya.
Davey menyebut lahan senilai Rp43 miliar hanya objek sengketa yang terdampak pembangunan Jalan Tol. Halim dan eks rekan yang sama juga terlibat sengketa lahan yang jika ditotal empat kali lebih luas dari 17.000 hektar tersebut.
Sebelumnya, Davey mengungkapkan Wiyanto Halim sempat menerima ancaman pembunuhan sebelum dianiaya massa hingga tewas.
"Dia (diancam) mau dibunuh...dia kita tanya nggak nyebutin dari siapa itu yang jadi masalah," kata Davey.
Sebagai informasi, seorang lansia bernama Wiyanto Halim menjadi korban pengeroyokan di kawasan Pulogadung. Peristiwa ini bermula saat almarhum dan diteriaki oleh sejumlah orang dengan sebutan 'maling'. Mereka kemudian mengejar mobil menggunakan sepeda motor.
Teriakan itu juga mengundang massa lainnya sehingga pengejaran kemudian dilakukan lebih banyak orang. Berdasarkan kesaksian, setidaknya lebih dari 10 mobil yang mengejar mobil tersebut.
Korban yang merupakan lansia pun nampak mengendarai mobil secara tergesa-gesa karena beberapa motor menghadangnya. Setelah mobil terhenti, para pelaku langsung merusak mobil tersebut.
Namun, usai 'dihakimi' hingga tewas polisi mengatakan bahwa korban bukan merupakan seorang pencuri. Selain itu, sejauh ini polisi sudah menetapkan empat tersangka terkait kasus pengeroyokan berujung kematian Wiyanto Halim.
Total 14 orang diamankan polisi untuk dimintai keterangannya terkait pengeroyokan tersebut. Diketahui, saat ini polisi telah membentuk tim untuk menggali lebih lanjut mengenai motif lain terkait kasus ini.
"Tentunya dengan kasus ini tidak akan berhenti satu tersangka. Akan berkembang kepada tersangka lain," ucap Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes E Zulpan, Senin.
(iam/kid)