Senada, Ahmad (34), seorang penjaga toko di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, menduga penyebaran radikalisme lebih mungkin dilakukan di media sosial secara tertutup, bukan secara tatap muka formal di masjid.
"Kan enggak mungkin kita-kita masyarakat juga enggak tau kalau ini ada yang aneh atau menyimpang dari Alquran dan Hadits," ucapnya.
Ia tidak menampik bahwasanya ada kelompok-kelompok tertentu yang cenderung tertutup dari masyarakat umum. Kendati demikian, Ahmad tidak sepakat apabila hal tersebut menjadi dasar penerapan pemetaan masjid oleh kepolisian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Ini kan yang belum jelas [indikatornya]. Tanggung jawabnya nanti akan seperti apa, ketika misalnya polisi menetapkan bahwa masjid itu radikal atau tidak," ujar dia.
Sementara itu, Samin (29), penjaga masjid di Guntur, Jakarta Selatan, mengatakan pemetaan tempat ibadah umat Islam ini dapat menimbulkan ketakutan baru di masyarakat.
Menurutnya, pemberian label atau stigma dari kepolisian sangat mungkin menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. Terlebih, pelabelan itu bukan berasal dari institusi keagamaan negara.
"Yang ada malah nanti bisa saling ribut. Kalau tidak jadinya masyarakat malah takut atau tidak mau ke masjid lagi," jelasnya.
"Karena khawatir bakal mendapatkan cap atau stigma tertentu dari kepolisian," imbuh Samin.
![]() |
Oleh sebab itu, ia meminta kepolisian agar meninjau ulang langkah pemetaan masjid-masjid di pelbagai daerah itu. Lantaran menurutnya, akan lebih banyak masalah baru yang ditimbulkan ketimbang niatan awalnya.
(tfq/arh)