Agak berbeda, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukrianto, menyatakan bahwa pihaknya bisa saja menolak meratifikasi perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dan Singapura jika terbukti merugikan kepentingan Indonesia.
Menurutnya, pihaknya akan meratifikasi bila hasil pembahasan nantinya menunjukkan bahwa perjanjian tersebut membawa kemanfaatan bagi Indonesia.
"Jika ada kepentingan Indonesia yang dirugikan atas perjanjian ekstradisi dan juga perjanjian lain yang menyertainya seperti beberapa waktu yang lalu, DPR pasti akan menolak meratifikasi," kata Didik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam konteks kepentingan negara yang lebih besar dan dalam rangka penguatan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, dia menjelaskan pemberlakuan perjanjian ekstradisi idealnya mampu memperkuat pemberantasan tindak pidana, termasuk korupsi.
Menurut Didik, DPR harus mengedepankan kepentingan nasional sebelum melakukan meratifikasi perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dan Singapura.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani, mengatakan akan meninjau perjanjian ekstradisi yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan Singapura.
Ia mengingatkan jangan sampai perjanjian ini lebih banyak menguntungkan Singapura.
"DPR akan melihatnya nanti, apakah perjanjian ekstradisi itu mengulang tidak, di-bundling dengan kata-kata perjanjian lain yang kita tahu di tahun 2007, kalau tidak salah zaman pemerintahan Pak SBY kan juga pernah dibuat perjanjian yang sama," kata Arsul.
Pada perjanjian yang lama, dia menjelaskan perjanjian ekstradisi juga terkait dengan perjanjian pertahanan. Saat itu, ekstradisi baru bisa diberikan jika ada pemberian fasilitas wilayah udara Indonesia untuk pelatihan pertahanan Singapura.
Menurutnya, DPR kala itu menolak meratifikasi karena menilai perjanjian itu tidak menguntungkan Indonesia.
Saat ini, perjanjian ekstradisi memang tinggal menunggu ratifikasi dari DPR. Arsul bilang, DPR siap mendukung perjanjian itu asalkan perjanjian benar-benar berbasis resiprositas, atau ada kemanfaatan timbal balik antara pemerintah Indonesia dan Singapura.
Indonesia dan Singapura sebenarnya sudah pernah meneken perjanjian ekstradisi dan DCA pada 2007 lalu. Namun, perjanjian itu tak kunjung diratifikasi karena selalu mental di parlemen.
Beberapa buronan korupsi Indonesia yang pernah lari ke Singapura yakni tersangka kasus korupsi BLBI Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI); Samadikun Hartono, dan tersangka korupsi BLBI Bank Modern;Sujiono Timan.
Lalu ada tersangka korupsi BPUI; tersangka korupsi Cassie Bank Bali, Djoko S Tjandra; hingga Harun Masiku, tersangka kasus suap penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024.
Terkait itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly optimistis DPR akan segera meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut.
"Kami akan mengajukan ke Presiden membuat Surpres (Surat Presiden) ke DPR agar segera ditindaklanjuti. Tugas berikutnya adalah untuk segera meratifikasi," kata Yasonna menjawab pertanyaan wawancara CNNIndonesia TV, Rabu petang.
"Saya melihat sejak perjanjian diteken, ada respons positif masyarakat sangat terlihat. Medsos media, saya kira teman-teman di DPR juga sudah mengantisipasi dan sudah akan semangat dengan ini. Saya percaya itu," imbuhnya.
(mts/gil)