ANALISIS

Pemetaan Masjid, Kontraproduktif dan Rawan Picu Konflik

CNN Indonesia
Selasa, 01 Feb 2022 13:24 WIB
Rencana Polri memetakan masjid bakal kontraproduktif dan rawan memicu konflik horizontal. Polri diminta bekerja senyap jika memetakan penyebaran terorisme.
Foto: ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

SETARA Institute sebagai lembaga swadaya yang banyak mengadvokasi kasus-kasus kekerasan beragama pun menilai bahwa sikap intoleransi tersebut akan berbahaya jika dipelihara. Apalagi, kata dia, alat negara turut berpartisipasi dalam melakukan penolakan.

Menurutnya penanganan kasus-kasus intoleran tersebut menjadi penting untuk dilakukan oleh pemangku kepentingan di tingkat pemerintah pusat.

"Kalau kepolisian juga membiarkan praktek-praktek intoleransi seperti yang dilakukan oleh sejumlah kelompok di Sintang, Kalimantan Barat dan itu bahkan dilegitimasi oleh aparat negara. Jadi ya percuma saja," katanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kerja Intelijen

Terpisah, Pengamat Intelijen dan Terorisme Universitas Indonesia (UI) Stanislaus Riyanta berpendapat seharusnya kepolisian tak secara terang-terangan hendak melakukan pemetaan terkait penyebaran terorisme secara khusus di masjid.

"Melakukan pemetaan itu wajar, yang penting caranya. Tidak harus show of force, karena bisa muncul resistensi," kata Stanislaus.

Stanislaus mengatakan data-data intelijen yang dikumpulkan kepolisian itu memang berguna untuk deteksi dini dan pencegahan terhadap ancaman radikalisme ataupun terorisme di Indonesia.

Menurutnya, negara berhak hadir dalam mengantisipasi potensi ancaman yang timbul. Namun, kata Stanislaus, upaya tersebut sebaiknya dilakukan dengan cara yang tidak menimbulkan masalah baru.

Misalnya, kepolisian lebih gencar lagi menggandeng tokoh-tokoh masyarakat hingga adat untuk membantu menghimpun informasi dari masyarakat.

Menurutnya, pelabelan yang dilakukan kepolisian ini justru bukan metode tepat untuk mengumpulkan informasi di tengah permasalahan radikalisme saat ini.

"Penguatan kapasitas masyarakat, pendekatan kepada tokoh agama, tokoh masyarakat, akan lebih soft daripada aparat keamanan yang hadir langsung," ujarnya.

Stanislaus mendorong agar Korps Bhayangkara lebih menguatkan peran-peran dari pihak di luar pemerintahan untuk melakukan penangkalan paham terorisme maupun radikalisme.

"Penguatan kapasitas non-state actor ini yang harusnya dilakukan pemerintah," katanya.

Polri, kata Stanislaus, dapat mulai bergerak menjalin hubungan dan kolaborasi dengan sejumlah elemen masyarakat sipil, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat, hingga organisasi masyarakat (Ormas) untuk menciptakan kesadaran kolektif terkait bahaya terorisme.

Menurutnya, aparat akan mendapat porsi yang lebih banyak untuk bergerak ketika sudah muncul tindakan pelanggaran hukum yang membahayakan.

"Teknis (pengumpulan data) itu perlu ditinjau lagi, labeling atau stigma tidak menyelesaikan masalah, justru bisa menciptakan resistensi," ujarnya.



Di sisi lain, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla (JK) mengkritik rencana Polri memetakan masjid dalam upaya mencegah penyebaran terorisme. JK mengatakan tak pernah ada upaya mengacau negara lewat masjid.

"Tidak ada yang pernah mengacau negara itu lewat masjid. Tak pernah ada di baiat di masjid, macam-macam," kata JK usai salat Jumat dan silaturrahmi dengan Pengurus Masjid Al-Markaz Al-Islam di Makassar, Jumat, (28/01).

(mjo/fra)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER