JAKI: Badan Partisipasi Warga Kunci Konflik Agraria
Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional (JAKI) menyoroti konflik agraria di Indonesia sebagai permasalahan serius yang merugikan warga.
Yudi Syamhudi Suyuti, Koordinator Eksekutif JAKI menuturkan kasus konflik agraria yang terus berulang perlu diselesaikan secara fundamental. Salah satu solusi yang ditawarkannya adalah pembentukan Badan Partisipasi Warga .
"Badan Partisipasi Warga adalah salah satu kunci saluran warga untuk menyelesaikan masalah-masalah konflik agraria dan persoalan-persoalan rakyat lainnya secara langsung," paparnya, Senin (14/2).
Dia mengatakan pihaknya terus mendorong sekaligus mengajak banyak pihak agar Badan Partisipasi Warga bisa ditetapkan menjadi salah satu Lembaga Tinggi Negara.
Menurut dia, badan tersebut bisa menjadi alternatif pengganti badan utusan golongan yang pernah ada di MPR.
Kendati, kata dia, wewenang, kekuasaan dan fungsinya diperkuat dengan memberikan otoritas rakyat secara langsung dalam kekuasaannya terhadap negara.
Yudi memberi contoh, masalah konflik agraria di Indonesia terus terjadi. Pada 2020, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat kasus konflik agraria tertinggi menyangkut perkebunan.
Dia mengungkapkan, rata-rata masalah konflik agraria terjadi antara warga dengan pemerintah atau swasta. Terbaru, konflik pecah dan memanas terkait rencana penambangan batu andesit di Desa Wadas di Purworejo.
Yudi mengatakan, JAKI sebagai organisasi kelompok masyarakat sipil, telah berkali-kali ikut menyelesaikan persoalan konflik agraria baik yang berurusan dengan pemerintah maupun Swasta, dimana korbannya adalah warga.
Dia memaparkan terdapat cara efektif dalam mencari solusi menyelesaikan persoalan konflik agraria. Salah satunya adalah memberikan kekuatan rakyat melalui saluran politik dan hukum secara legal formal.
"Yaitu dengan dibentuk dan ditetapkannya Badan Partisipasi Warga yang merupakan Fraksi Rakyat di Parlemen. Sehingga rakyat secara langsung dapat menyalurkan kekuatannya melalui badan tersebut," paparnya.
Dia menambahkan, pembentukan Badan Partisipasi Warga tidak akan tercapai jika tidak payung hukum yang jelas. Pihaknya berharap adanya TAP MPR agar badan tersebut seimbang dengan DPR dan DPD sekaligus sebagai Kamar Politik baru di MPR.
Ketimpangan Penguasaan
Sementara itu, Gigih Guntoro, Direktur Eksekutif Indonesian Club yang juga Anggota UNWCI Indonesia Campaign mengatakan konflik agraria terjadi karena ketimpangan kepemilikan dan penguasaan serta pengelolaan sumber-sumber agraria.
Dia mencatat, data Konsorsium Pembangunan Agraria, di tahun 2020 - 2021 terjadi 448 letusan konflik agraria struktural dimana masyarakat, komunitas, desa, petani dan masyarakat adat berhadapan dengan BUMN maupun Perusahaan swasta yang terjadi di 32 Provinsi yang tersebar di 902 desa/kota.
Konflik agraria, kata dia terjadi di sektor pembangunan infrastruktur sebesar 73 persendan pertambangan sebesar 16,7 persen.
"Letusan konflik agraria dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan seiring dengan kebijakan pemerintah membuka kran investasi ugal-ugalan melalui UU Omnibus Law atasnama pemerataan pembangunan di semua daerah," ujarnya.
Dihubungi terpisah, Pengamat Sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati mengatakan advokasi warga terkait konflik agraria yang selama ini kerap terjadi bisa dilakukan oleh banyak lembaga dan instansi.
"Mungkin konsepnya bisa menguatkan atau melengkapi yang sudah ada. Kalau pun memang harus ada badan lagi itu bisa dicari mekanisme hukumnya. Di sisi lain saat ini pemerintah memang sedang efisiensi," ujarnya.
Devie mengatakan pihaknya memiliki pengamatan lain terkait persoalan agraria saat ini. Pemerintah, kata dia, sudah mulai membuka secara lebar pengurusan administrasi dan hal-hal terkait agraria.
"Di antaranya terkait program sertifikat tanah dan uang ganti untung atas lahan-lahan milik masyarakat yang kena gusur proyek pemerintah," paparnya.