Sayangnya lima tahun terakhir kawasan Vorvo dan Citra Niaga Samarinda tak lagi ramah dengan para transpuan. Mereka kembali terusir. Persekusi dan penolakan bukan lah hal baru bagi golongan minoritas gender ketiga. Dari hasil penelitian LSM Arus Pelangi pada 2013 menunjukkan, 89,3 persen LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan dan perlakuan diskriminatif.
Seturut dengan itu, pada 2016 Human Rights Watch (HRW) juga meneliti soal perilaku tidak adil terhadap kaum minoritas tersebut. Laporan setebal 93 halaman tersebut berjudul Komunitas LGBT dalam Ancaman.
Para peneliti HRW pun mendapat pengakuan yang beragam dari 70 orang LGBT dan aktivis HAM di berbagai daerah. Warga masih menolak adanya komunitas marjinal ini. Lantaran berbeda, mereka didiskriminasi saat berobat, sekolah, lingkungan tetangga, bahkan di dalam rumah sendiri. Kondisi itu berlanjut hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyak masyarakat yang belum paham soal gender ketiga. Karena tak paham kemudian menjadi risih," sambung Nadine.
Tahun berlanjut, dia tak lagi aktif di jalan saat malam hari. Maklum usia kepala empat bukan lagi saatnya untuk "mejeng". Sekarang Nadine lebih banyak aktif mengadvokasi kawan-kawan transpuan lewat Persatuan Waria Samarinda (Perwasa) sebagai sekretaris. Anggotanya ada 125 orang. Itu data 2013 lalu. Kini pasti bertambah. Sayangnya organisasi ini vakum sejak 2014. Meski demikian semangatnya membantu tetap ada.
"Kalau ada yang minta tolong soal pekerjaan, pasti kami bantu. Perwasa juga koneksi ke pemerintahan kok," sebutnya.
Dia menambahkan, konsep gender ketiga ini belum banyak dipahami warga. Mereka hanya mengetahui hitam dan putih. Padahal ada abu-abu di tengah. Transgender, transpuan dan transpria juga warga negara Indonesia. Masuk kelompok rentan dilindungi UU No 39/1999 tentang HAM. Tak hanya itu, dua tahun lalu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tak lagi mengkategorikan transgender sebagai gangguan mental.
"Kami berhak mendapatkan perlakuan yang setara," tegasnya.
Di tempat terpisah, soal urusan pekerjaan kata Kepala Dinas Tenaga Kerja Samarinda, Wahyono Hadi Putro pihaknya siap membantu. Sebab misi dari organisasi perangkat daerah ini memang demikian.
"Kami mengadakan pelatihan tanpa melihat gender," sebutnya.
Pelatihan kerja ini pun beragam, mulai dari perhotelan, otomotif, kecantikan kulit dan rambut, penata rias, desain grafis, tata busana, administrasi perkantoran serta mekanik alat berat. Tahun lalu saja ada 150 orang yang mengikuti program tersebut. Waktunya 5 bulan, sebulan untuk pelatihan dan 4 bulannya untuk magang.
"Intinya yang masuk kriteria kami adalah pencari kerja. Bukan laki-laki, perempuan atau gender ketiga," tegasnya lagi.
Setali tiga uang, Pendiri Transpreneur Willy Sam berharap pernyataan tersebut bukanlah pemanis belaka. Sebab selama ini kenyataan di lapangan tidak demikian. Masih banyak pemberi kerja yang mendasarkan kepada gender hingga kepercayaan. Dan menjadi tugas Disnaker untuk meniadakan syarat berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).
"Kami harap Disnaker dan OPD lain mau berdiskusi berkala dengan kawan-kawan trans, sehingga persoalan ini bisa dibahas tuntas," pungkasnya.
Laporan ini mendapat dukungan dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman dan International Media Support .
(ugo/rio)