Nasib Transgender di Samarinda: Diserang Psikis, Sulit Cari Kerja

CNN Indonesia
Rabu, 16 Feb 2022 16:15 WIB
Ilustrasi. (CNNIndonesia/Safir Makki)
Samarinda, CNN Indonesia --

Setiap kali Willy Sam mengenakan seragam sekolah rok, batinnya bergejolak. Secara fisik dia relatif tak seperti wanita pada umumnya. Hormon testosteron miliknya lebih dominan. Gara-gara itu perundungan kerap ia terima.

"Saya stres berat. Orang menyebut itu disforia gender. Sejak kecil saya juga tak nyaman dengan nama lahir, tapi orang tua tak paham," ujar Sam, begitu ia biasa disapa, kepada CNNIndonesia.com pada Senin, 17 Januari 2022.

Lingkungan terdekat, seperti keluarga, juga memberikan respons serupa. Mereka antipati dengan gender ketiga Sam. Serangan psikis dari waktu ke waktu terus bertambah dan memuncak pada 2006. Sam hendak bunuh diri.

Masa-masa kelam tersebut kian bertambah tatkala ibunya mangkat setahun kemudian. Bahkan hingga kini, niat tersebut masih ada. Namun dia tidak menyerah. Dia bisa melewati itu semua dan bertahan. Kini Sam menerima diri seutuhnya sebagai transpria.

"Intinya, gender ketiga bukan karena faktor lingkungan. Tapi sejak awal memang demikian," ucap Sam.

Sam tak ingin tegar sendirian. Dia kemudian mulai mengadvokasi mereka yang terpinggirkan. Ikhtiar ini diwujudkan dalam Metamorfosa, komunitas yang fokus gerakannya menyuarakan kesetaraan tanpa memandang gender atau orientasi seksual.

Organisasi ini bergerak dan dia gerakkan sejak masih sekolah hingga kuliah. Walaupun pada 2016 lalu resmi bubar, tapi semangat Sam membantu rekan-rekan transgender tetap berlanjut.

"Metamorfosa kemudian mengembangkan diri menjadi Transpreneur atau Teh Es Project pada 2017," kata bungsu dari tiga bersaudara ini.

Misi Transpreneur tak pernah berubah, sama dengan Metamorfosa. Hanya saja, sambung Sam, metode gerakannya berbeda. Jika sebelumnya mereka menggedor pintu kebijakan di jalan, kini tidak demikian, justru advokasi lebih banyak bergerak dalam pengembangan kapasitas diri dan mengubah pola pikir. Sebab ia tahu benar, salah satu masalah yang dihadapi rekan-rekan transgender adalah pekerjaan.

"Jadi yang diubah itu mindset-nya dulu. Jika pola pikir tak bisa berkembang, maka ke depan akan susah," imbuh sarjana hukum ini.

Rupanya aksi ini berhasil menarik minat transgender dari luar Samarinda hingga Amerika Serikat. Meski pertemuannya hanya daring, namun menuai respons positif. Peserta menganggap metode yang digunakan Sam jarang diterapkan pihak lain, yakni mencetak mental pengusaha. Sebagian besar anggota Transprenuer aktif tersebar di AS, Samarinda, Yogyakarta, Bandung dan Karawang.

"Dari Transpreneur ini pula,lapangan pekerjaan bisa diperoleh, karena kawan-kawan pengusaha pasti mencari pekerja di lingkungan terdekat lebih dahulu. Seperti jejaring sarang lebah," tegasnya.

Dia menambahkan, ke depan advokasi Sam tak akan berhenti. Lewat Transpreneur, dirinya bisa berbuat banyak. Tak hanya membantu kawan-kawan transgender mendapatkan pekerjaan, tapi juga mengajak rekan transgender memberi dampak sosial positif di lingkungan sekitar.

"Ya, itu impian terbesar. Mohon dukungan doanya," pinta dia.

Tak Pernah Mudah

Setali tiga uang, kisah serupa juga dialami oleh Nadine Candra. Setiap kali menggunakan baju pria, batinnya selalu tersiksa karena menolak. Dia terlahir dengan fisik lelaki, namun lebih akrab dengan perempuan. Hidup dalam situasi gamang tersebut bukanlah perkara mudah.

"Saya juga tak pernah minta dilahirkan demikian," ujar Nadine, panggilan karibnya.

Penolakan sudah bisa digaransi. Bahkan yang lebih awal memulai adalah keluarga sendiri. Nadine merupakan bungsu dari lima bersaudara. Sejak kecil dia merasa berbeda. Kondisi tersebut berlanjut hingga sekolah. Ibunya memang tak pernah melarang dia bersolek, hanya saja saudaranya yang lebih banyak memberikan serangan psikologis.

"Saya lebih suka ditegur fisik daripada didiamkan. Yang dihantam itu mental saya. Pingin rasanya bunuh diri saat itu," akunya.

Sikap antipati ini pula yang membuatnya tak betah di Samarinda dan lebih memilih merantau ke Surabaya pada awal tahun 2000. Padahal saat itu Nadine sudah bisa menerima dirinya seutuhnya. Berbagai kontes transpuan dia ikuti.

Paling bergengsi pada 2005 lalu di Gedung Sarinah, Jakarta Pusat. Empat tahun kemudian, dia kembali ke Samarinda. Namun tetap saja Nadine merasa belum diterima di rumah.

"Saya memilih indekos saja," katanya.

Tak banyak pekerjaan yang bisa ditekuni, lebih lagi transpuan. Lingkungan mengumpulkan rupiah hanya berputar-putar saja. Mulai dari salon, biduan hingga menjadi PSK. Penyebab utamanya tak lain karena diskriminasi dan penolakan di berbagai ruang lingkup pekerjaan. Ini pula yang membuat Nadine nekat menjadi PSK di jalan pada 2005 silam.

"Jadi kami yang mengawali itu, pelopor lah. Hingga akhirnya diusir. Kemudian pindah ke kawasan Vorvo dan Citra Niaga," tuturnya kemudian tertawa.

Persekusi dan Penolakan Masih Ada


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :