Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan Menaker Ida Fauziyah melawan Presiden Joko Widodo karena Permenaker 2/2022 bertentangan dengan PP 60/2015 yang masih berlaku.
"Dengan kata lain, Menaker [Ida Fauziyah] melawan Presiden Jokowi," kata Said.
Ia berujar pihaknya sudah menyurati Jokowi agar segera mencabut Permenaker 2/2022 tersebut. Ia juga meminta agar Jokowi kembali memberlakukan Permenaker 19/2015.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam Permenaker 19/2015, JHT dapat diberikan kepada peserta yang mengundurkan diri dan dibayarkan secara tunai setelah melewati masa tunggu 1 bulan terhitung sejak tanggal surat keterangan pengunduran diri dari perusahaan.
Said mengatakan dana JHT sangat dibutuhkan oleh pekerja atau buruh yang terkena PHK ataupun pensiun dini, terlebih saat pandemi Covid-19.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai Jokowi bisa menjadi 'bulan-bulanan' rakyat jika tak segera bertindak tegas dengan mencabut Permenaker 2/2022.
"Saya melihatnya ini secara politik akan berdampak pada persepsi negatif kepada Jokowi termasuk akan menimbulkan citra buruk kepada Jokowi, artinya citra buruk semakin tinggi," kata Ujang saat dihubungi.
"Kalau ini tidak diselesaikan oleh Jokowi dalam arti peraturan dicabut, tentu dia akan, mohon maaf, dalam tanda kutip menjadi bulan-bulanan," sambungnya.
Ujang menjelaskan persepsi negatif tersebut dapat terjadi karena Permenaker 2/2022 menyangkut hajat hidup orang banyak. Ia pun mengutip petisi penolakan Permenaker 2/2022 di change.org yang sudah ditandatangani oleh 401.644 warga, data pada hari ini pukul 11.20 WIB.
"Ini tidak main-main," tegas dia.
Peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Jati, menjelaskan secara aturan hukum positif Permenaker 2/2022 tidak dapat dibenarkan sebab JHT merupakan iuran pekerja yang hanya melibatkan perusahaan pemberi kerja.
"Intervensi negara terhadap penahanan anggaran JHT adalah berlebihan juga karena itu lebih pada kerangka pekerja dengan korporasi. Kalau ada intervensi negara di situ, itu sama saja sudah mendiskriminasi hak para pekerja," kata Wasisto.
(ryn/fra)