Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte tak berkutik ketika riset sejumlah lembaga kesohor di negaranya memaparkan bukti kekerasan ekstrem militer Belanda terhadap rakyat Indonesia sepanjang 1945-1949.
Riset yang dijahit KITLV, NIMH, dan NIOD --ditambah dukungan peneliti dari UGM-- menegaskan Belanda mengabaikan proklamasi Republik Indonesia yang dibacakan Sukarno-Hatta. Belanda menyerang negara yang berikrar sudah merdeka.
Sebanyak 100 ribu WNI dibantai (estimasi angka terendah korban Indonesia diamini dalam penelitian). Kampung-kampung dibakar, gadis-gadis diperkosa, istri dijandakan, anak-anak bermandi darah orang tuanya. Di sisi lain, korban militer Belanda tercatat pasti: tak lebih dari 5.500 orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Riset senilai 4,1 juta euro yang dibiayai Pemerintah Belanda jadi palu godam yang memukul keangkuhan mereka sendiri. Selama ini Belanda berlindung dalam argumentasi excessnota (nota ekses) yang terbit era PM Belanda Piet De Jong pada 1969: apa yang terjadi hanya ekses perang, bukan kebijakan resmi Den Haag.
Penelitian hari ini kembali membuktikan kekejaman militer Belanda amat sistemik. Melibatkan keputusan pemerintah, hakim, politikus yang pura-pura tak tahu, tapi diam-diam menyalakan lampu hijau pembantaian.
Pada akhirnya Belanda lagi-lagi dihadapkan cuma satu pilihan: menunduk dan minta maaf.
Riset itu sejatinya cuma dalil pendukung. Pengakuan dosa dan maaf Belanda bukan barang baru. Sedikitnya ini kali kelima mulut Belanda berucap maaf. Dimulai dari 2011 dan 2013, Belanda melalui Duta Besar untuk RI, Jonkheer Tjeerd de Swan meminta maaf atas pembantaian militer Belanda pimpinan Westerling.
Raja Belanda Willem Alexander, bahkan di depan Presiden Jokowi juga meminta maaf pada September 2020. Wali Kota Amsterdam juga pernah meminta maaf pada Juli 2021 meski tidak dilegitimasi sebagai pernyataan negara.
Sudah 10 tahun lalu dan Belanda berulang terus minta maaf, namun respons pemerintah Indonesia seperti jalan di tempat. Terakhir, Kementerian Luar Negeri melalui Juru Bicara Teuku Faizasyah hanya mengatakan 'Indonesia tengah mempelajari permintaan maaf Belanda'.
Di tempat lain, Advokat sekaligus Pendamping Administrasi Korban Agresi Militer Belanda, Irwan Lubis mengirimi saya sebuah dokumen mengenai ratusan nama. Dia mengatakan per 18 Februari 2022 telah ada 104 janda dan anak-anak korban pembunuhan militer Belanda yang menagih kehormatan dan biaya ganti rugi darah suami dan orang tuanya langsung ke Belanda.
Mereka berasal dari Sulawesi Selatan, Riau, hingga sejumlah daerah lainnya di Jawa Barat. Identitas nama pengaju kompensasi diminta untuk dirahasiakan.
104 janda dan anak-anak korban itu mengirimkan surat via pos kepada Pemerintah Belanda melalui Kantoor Landsadvocaat Claim Indonesische weduwen di Den Haag. Mereka, jika memenuhi syarat yang diminta Belanda, dijanjikan kompensasi atau uang ganti rugi.
"Kami yakin ini akan terus bertambah. Data terbaru ada lagi sekitar 600 janda/anak yang akan mengajukan dari Makassar," ujar Irwan.
Pemerintah Belanda pada April 2021 menerbitkan pengajuan kesepakatan damai kepada para korban beserta anak. Kompensasi damai dibuat melalui penerbitan "Outline for civil law settlements to compensate the children of victims of mass executions in the former Dutch East Indies, 1945-1949".
Aturan ini tertuang dalam lembar negara Nomor 21042 tertanggal 28 april 2021. Pengajuan kompensasi berbatas waktu hingga 2026. Setelah itu gugatan otomatis diabaikan.
Belanda menawarkan 20 ribu euro kepada janda dan 5 ribu euro kepada anak korban kekejaman militer di tanah 'mantan Hindia Belanda'-menolak menyebut wilayah Indonesia. Semua kompensasi diberikan di luar peradilan. Tawaran ini boleh jadi lantaran Belanda bosan merespons puluhan gugatan warga Indonesia yang terus masuk ke pengadilan Den Haag melalui Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB).
KUKB kepada CNNIndonesia.com mengungkapkan sedikitnya 50 orang menang gugatan atas tragedi 1945-1949.
"Kami yakin pemerintah Indonesia tidak memiliki data soal korban ini. Karena kami meminta bantuan pun tak digubris. Kami jalan sendiri," ujar Irwan.
Dalam satu titik saya sependapat dengan pernyataan Ketua Yayasan KUKB, Jeffry Pondaag yang mengaku tak kaget dengan hasil penelitian. Jeffry bahkan menuding ada pengondisian, mengarah ke kongkalikong antara pemerintah Belanda dengan para peneliti sebelum menyampaikan semua hasil penelitian.
Tudingan Jeffry didasarkan penggunaan istilah kekerasan ekstrem yang digunakan dalam hasil penelitian tersebut. Jeffry menyebut tak ada satu pun istilah yang menyebut tentang 'kekerasan perang/war crimes'. Jeffry kembali mengingatkan tentang permintaan maaf Raja Willem di depan Jokowi yang juga meminta maaf karena aksi 'kekerasan ekstrem'.
"Karena jika para peneliti menggunakan istilah 'kekerasan perang', implikasinya sangat berbeda. Belanda bisa dituntut di peradilan Internasional mengenai kejahatan menyerang Indonesia yang sudah merdeka," ujar Jeffy.
Dampak dan juga tuntutan biaya jika Belanda terbukti melanggar peraturan internasional melakukan penyerangan terhadap negara berdaulat pernah saya tulis dalam kolom lain sebelumnya.
Argumentasi nirmanfaat penelitian tersebut juga diungkapkan aktivis Belanda yang juga founder Historibersama, Marjolein Van Pagee.
Dia mengatakan penghindaran yang disengaja terhadap istilah "kejahatan perang" dilakukan sedemikian rupaluar biasa. Marjolein mengatakan padahal para peneliti sebelumnya menggunakan istilah "kejahatan perang" di publikasi lain. Misalnya, pada 2015 pemimpin proyek Gert Oostindie menggunakanistilah "kejahatan perang" sepanjang waktu dalam bukunya Soldaat in Indonesi (Tentara di Indonesia).
"Jadi mengapa meniadakannya sekarang? Saya pikir penelitian semacam itu hanya demi menghentikan Indonesia menggugat Belanda di dunia internasional," ujarnya.
Saya tidak menyodorkan pemerintah lebih jauh soal polemik penelitian tersebut. Sebab pekerjaan sederhana saja nampak tak dikerjakan: pendampingan korban.
Permintaan maaf Belanda dan pengajuan tawaran kompensasi di luar peradilan yang dibuka Belanda merupakan langkah yang mestinya tak lama direspons pemerintah Indonesia, apalagi didiamkan. Maaf dari Belanda sudah sering, penawaran kompensasi bersyarat pun sudah diberikan. Kenapa negara masih bergeming?
Miris ketika 104 orang, bahkan bisa lebih, istri anak-anak pejuang mencari sendiri keadilan. Mereka menuntut ganti rugi ke sebuah negara yang berada 18 ribu kilometer tanpa pendampingan negara. Selemah-lemahnya pemerintah menjaga kehormatan bangsa adalah dengan memberi bukti jika negara hadir untuk rakyatnya yang mencari keadilan.
Kalau keadilan untuk para korban saja tak bisa diwujudkan, saya tak berharap pemerintah Indonesia berani menuntut Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Lagi-lagi mimpi di siang bolong.
(sur)