Partai Golongan Karya (Golkar) tersingkir dari posisi tiga besar elektabilitas untuk pemilu 2024 versi survei Litbang Kompas yang dirilis pada Februari 2022.
Posisi itu disalip oleh partai Demokrat yang kini menduduki posisi ketiga dengan elektabilitas mencapai 10,7 persen. Di atas partai berlambang mercy itu, posisi PDI Perjuangan masih kokoh berada di urutan pertama dengan torehan 22,8 persen dan Gerindra pada urutan kedua dengan 13,9 persen.
Di bawah Demokrat secara berurutan terdapat Golkar (8,6 persen), PKS (6,8 persen), PKB (5,5 persen), NasDem (3,5 persen), PPP (2,8 persen), PAN dan Perindo (2,5 persen), PSI (0,9 persen), Hanura dan PBB (0,6 persen), serta Garuda (0,4 persen).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Elektabilitas tersebut masih bersifat fluktuatif. Apalagi, kontestasi politik terbesar melalui pemilu 2024 nanti masih memiliki waktu panjang bagi Partai berbenah.
Namun demikian, penurunan elektabilitas Partai yang pernah berkuasa lama di era Orde Baru (Orba) itu dianggap dapat terus tergerus jika tak ada perubahan secara sistematis dan terukur yang dilakukan.
Pengamat politik Djayadi Hanan menilai bahwa potensi itu dapat tergambar dari angka pemilih partai tersebut dalam pemilu 2019. Menurutnya, sekitar 40 persen pemilih Golkar merupakan pemilih Prabowo Subianto yang kala itu merupakan calon Presiden.
Dia beranggapan bahwa pemilih partai tersebut terdapat beberapa diantaranya yang menentang pemerintahan Jokowi kala itu.
"Itu mereka sekarang melihat Golkar betul-betul berada di pemerintahan, membela pemerintahan Jokowi. Mereka ini mungkin lari," kata Djayadi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (23/2).
Dia mengatakan bahwa terdapat karakteristik yang sama antara pemilih Partai Golkar dengan Gerindra, Demokrat dan NasDem. Ketiga partai itu, kata Djayadi yakni didominasi oleh pemilih yang bersikap nasionalis sekuler.
Sehingga, Djayadi beranggapan bahwa para para pemilih tersebut berpotensi untuk berpindah sehingga cukup menggerus elektabilitas Partai Golkar saat ini.
"Pemilih Golkar yang bukan pendukung Jokowi itu kalau mau memilih partai tentu akan memilih partai yang dianggap tidak bagian dari Jokowi kan. Nah sekarang kan yang tidak bukan bagian dari Jokowi cuma PKS sama Demokrat," ucap dia.
"Melihat karakteristik Golkar maka lebih mungkin ke Demokrat daripada ke PKS," tambah dia.
Djayadi yang merupakan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga menilai bahwa Golkar saat ini masih belum memanaskan mesin partainya secara maksimal.
Ia menjelaskan bahwa Golkar sebagai partai tua di Indonesia memiliki mekanisme partai yang lebih matang jika dibandingkan dengan Demokrat saat ini. Sehingga, kata dia, perangkat-perangkat partai Golkar tersebut dapat menjamur hingga ke akar rumput setingkat desa sekalipun.
Sehingga, kata dia, Golkar memungkinkan untuk dapat kembali mengambil hati masyarakat jika memanfaatkan perangkat tersebut.
Upaya tersebut, dinilai Djayadi perlu dilakukan di tengah situasi partai oposisi yang memungkinkan mendapatkan elektabilitas lewat suara-suara kritisnya. Dimana, Demokrat menjadi salah satu yang kini bersikap untuk ada di luar pemerintahan Jokowi.
Djayadi berkaca dari hasil survei sejumlah lembaga yang tak pernah menempatkan kepuasan publik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo hingga 80 persen. Artinya, kata dia, terdapat sejumlah orang yang tak puas dengan kinerja pemerintahan sehingga dapat beralih suaranya kepada partai oposisi.
"Yang oposan ini, umumnya akan melihat pertama-tama adalah partai-partai yang di luar pemerintahan terutama yang bersuara kritis. Seperti PKS dan belakangan kita sering mendengar Demokrat bersuara kritis kan," jelas dia.
Namun demikian, Djayadi mengatakan bahwa hasil survei elektabilitas tersebut masih belum dapat menggambarkan secara utuh keadaan kontestasi politik mendatang. Apalagi, kata dia, saat ini situasi persaingan masih sangat cair.
Berlanjut ke halaman berikutnya...