Advokat LBH Jakarta, Teo Reffelsen menduga kuat terdapat rekayasa kasus yang menjerat kliennya, Muhammad Fikry (20), seorang guru ngaji dan kader HMI di Cibitung yang dituding melakukan begal di Bekasi.
Dugaan rekayasa kasus salah satunya terlihat dari kejanggalan barang bukti motor Beat Street milik keluarga Fikry bernomor Polisi B 4358 FPW. Menurut polisi motor itu digunakan Fikry untuk melakukan pembegalan.
Berdasarkan penelusuran Tim Advokasi Anti Penyiksaan yang terdiri dari LBH Jakarta dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), pada saat kejadian begal motor itu berada di rumah dan terekam CCTV.
"Berdasarkan rekaman CCTV milik keluarga salah satu terdakwa yakni Fikry, motor itu pada tanggal 24 Juli pukul 01.30 WIB itu berada di rumah Fikry," kata Teo saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (22/2) malam.
Teo mengatakan dalam rekaman CCTV itu tampak motor tersebut berada di halaman rumah sejak sekitar pukul 22.00 WIB 23 Juli 2021.
Beat Street warna hitam itu terekam baru kembali digunakan keesokan harinya, pukul 10.00 WIB tanggal 24 Juli. Sementara, menurut polisi motor itu digunakan untuk melakukan begal di Jalan Raya Sukaraja, sekitar 6 kilometer dari rumah Fikry.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembegalan itu terjadi sekitar pukul 01.30 WIB dini hari, 24 Juli.
"Jadi ini kelihatan bahwa kemudian barang buktinya saja diduga direkayasa. Itu dikuatkan dengan bukti CCTV," kata Teo.
"Yang dijadikan oleh polisi sebagai barang bukti untuk melakukan tindak pidana sebenarnya kuat dugaan bahwa itu adalah rekayasa," imbuh Teo.
Fikry ditangkap aparat Polsek Tambelang bersama delapan orang lainnya pada 28 Juli tahun lalu. Lima orang dilepas, sementara Fikry bersama tiga lainnya ditetapkan tersangka pelaku begal sepeda motor.
Keempat remaja itu dituding membegal seorang warga Desa Sukabakti, Tambelang bernama Darusman Ferdiansyah dan merampas satu unit motor NMAx darinya.
Selain dugaan rekayasa kasus, tim LBH Jakarta dan KontraS juga menemukan dugaan salah tangkap dan penyiksaan yang dilakukan Polsek Tambelang.
Teo mengatakan berdasarkan bukti dan kesaksian yang ditemukan Tim LBH Jakarta dan KontraS, keempat remaja itu tidak ada di tempat kejadian perkara (TKP) pada dini hari 24 Juli.
"Jadi keempatnya berdasarkan hasil investigasi kami itu tidak berada di lokasi," kata Teo.
Selain itu, LBH Jakarta dan KontraS menduga empat remaja itu mengalami penyiksaan dan pemaksaan saat diinterogasi.
Berdasarkan keterangan saksi polisi di sidang, empat remaja itu dibawa ke sel isolasi yang terdapat CCTV. Namun, jaksa menolak permintaan agar rekaman CCTV itu dihadirkan di persidangan.
"Itu jadi kecurigaan kita juga kenapa Jaksa yang harusnya lebih aktif membuktikan dugaan penyiksaan terhadap 4 terdakwa ini tidak mau menghadirkan bukti rekaman CCTV di ruangan tahanan Polsek Tambelang," tutur Teo.
Pengacara LBH Putih, Denny Pramiyadi, kuasa hukum keempat remaja sebelum didampingi LBH Jakarta dan Kontras, menyebut para remaja itu terpaksa mengaku melakukan begal.
Mereka menjalani berita acara pemeriksaan (BAP) dalam keadaan tertekan. Fikry dan kawan-kawannya diduga disiksa seperti dipukul hingga ditodong pistol. Setelah dihajar, polisi kemudian merekam pengakuan para terdakwa.
"Dia dalam keadaan tertekan, diduga ditodong pistol, dianiaya, dipukul, sehingga mengakui melakukan pembegalan 24 Juli," tuturnya.
Denny mengungkapkan pihaknya menduga anggota Polsek Tambelang melakukan pelanggaran hukum acara pidana penyelidikan dan penyidikan.
Menurutnya, berdasarkan penuturan anggota Polsek Tambelang yang dihadirkan di persidangan, I Gusti Agung Rai Yoga, keempat remaja itu belum menjadi tersangka saat penangkapan.
"Saya tanya ini statusnya sudah tersangka atau bagaimana sehingga saudara langsung mengamankan? 'Belum Pak, belum tersangka', jawaban Agung,"kata Denny.
Sementara, saksi penangkap lainnya, Ari Wibowo, mengaku penangkapan itu dilakukan atas dasar perintah atasan mereka. Namun, perintah itu tidak tertulis melainkan hanya lisan.
"Saya pertegas jadi perintah penangkapan itu secara lisan? 'Betul'," kata Denny mengutip jawaban Ari.
Ari juga mengatakan dasar penangkapan keempat remaja itu adalah adanya foto para terdakwa yang menurut korban merupakan pelaku begal.
Foto itu diambil secara diam-diam oleh paman korban, Jai bin Boih saat Fikry, Abdul, dan Rizki sedang bermain game di warung.
"Saya tanya dasarnya apa sehingga anda bisa menangkap orang ini? 'Karena ada foto yang diserahkan Jai kepada polisi'. Gitu doang dasarnya, jelas sudah melanggar KUHAP," kata Denny.
Kapolsek Tambelang AKP Miken Fendriyati enggan mengklarifikasi lebih lanjut soal kejanggalan kasus begal Bekasi. Dia menyerahkan persoalan tersebut ke pihak Polres Bekasi.
"Silakan ke humas polres, saya tidak ada hak bicara. Kemarin bagian humas sudah menghubungi saya dan sudah mengerti tentang hal tersebut," kata Miken kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Sementara Kasubbag Humas Polres Metro Bekasi Kompol Yulianto saat diklarifikasi lebih lanjut menepis pernah berkomunikasi dengan Miken soal kasus begal Bekasi. "Enggak lah. Yang kayak gitu kan enggak langsung. Kan yang tahu permasalahannya. Kalau saya enggak tahu permasalahannya," kata Yulianto.
Kapolres Metro Bekasi, Kombes Gidion Arif Setyawan pun enggan mengomentari dugaan kecacatan prosedur dalam penanganan kasus begal yang dilakukan Polsek Tambelang karena kasus sudah masuk persidangan.
Kasatreskrim Polsek Tambelang, Haryono enggan bicara banyak. Dia membantah ada kecacatan prosedur dan kekerasan terhadap Fikry saat menangani kasus begal.
"Enggak ada, enggak ada," kata Haryono saat ditemui di Polsek Tambelang.
Pihak keluarga sudah melapor ke Komnas HAM dan Komisi III DPR. Laporan juga diajukan ke Propam Polda Metro Jaya terkait kecacatan prosedur dalam proses hukum kasus begal di Bekasi.
Sementara Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulpan mengklaim Propam dan Kompolnas tidak menemukan kejanggalan serta kekerasan dalam kasus ini.
"Propam Polda Metro Jaya telah melakukan pemeriksaan dan juga penyelidikan dengan hasil tidak ditemukan dugaan salah tangkap dan rekayasa tersebut," kata Endra Zulpan.