Yusril lantas mempertanyakan apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya nyali untuk mengeluarkan dekrit. Ia menduga Jokowi tidak akan melakukan hal demikian karena risiko politik yang terlalu besar.
"Sebagai tindakan revolusioner, tindakan itu jauh daripada matang. TNI dan POLRI juga belum tentu akan mendukung, meskipun keputusan itu adalah keputusan Presiden sebagai panglima tertinggi. Langkah seperti itu akan jadi boomerang bagi Presiden Jokowi sendiri," kata dia.
Lihat Juga : |
Jalan terakhir untuk menunda Pemilu yakni dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan atau 'constitutional convention'.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yusril mengatakan, perubahan bukan dilakukan terhadap teks konstitusi, UUD 45, melainkan dilakukan dalam praktik penyelenggaraan negara.
Ia merinci dalam Pasal 22E UUD 45 diatur bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD. Pasal 7 UUD 45 mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun. Sesudah itu dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan lagi.
Kedua pasal di atas tidak perlu diubah, tetapi dalam praktik, Pemilu dilaksanakan misalnya tujuh tahun sekali.
"Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD dan dengan sendirinya MPR, dalam praktiknya juga dilaksanakan selama tujuh tahun," kata dia.
Namun, Yusril menilai konvensi ketatanegaraan tentang penundaan Pemilu sulit diciptakan. Terlebih, masyarakat awam dengan mudah akan menganggapnya sebagai 'penyelewengan' terhadap UUD 1945.
"Presiden Jokowi tentu tidak dalam posisi untuk dapat menciptakan konvensi ketatanegaraan sebagaimana digagas Sjahrir dan dilaksanakan Wapres Mohammad Hatta tahun 1945 itu," kata dia.
(rzr/asr)