Ahli hukum sekaligus Ketua Umum Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Violla Reininda mengatakan bahwa penundaan Pemilu setidaknya menujukkan dua hal. Pertama, hilangnya kedaulatan rakyat; kedua perpanjangan kekuasan petahana dan akses mereka pada anggaran secara cuma-cuma.
Khusus poin pertama, ucap Violla, rakyat tak diberi untuk mengevaluasi kepemimpinan eksekutif dan legislatif melalui pemilu. Padahal, pemilu telah diatur dengan tegas lewat UUD 1945, dan digelar sekali dalam lima tahun.
"Mengikis daulat rakyat berarti rakyat tidak diberikan haknya untuk mengevaluasi kepemimpinan eksekutif dan legislatif melalui pemilu," kata Violla, Rabu (2/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menyebut, perubahan aturan soal Pemilu saat ini bisa dilakukan lewat amandemen UUD 45. Namun, ia menilai peluang amandemen relatif kecil sebab baru tiga partai yang mendukung usulan tersebut, masing-masing PKB, PAN, dan Golkar.
Lihat Juga :![]() DI BALIK LAYAR Tangan Pemerintah di Balik Desain Tunda Pemilu 2024 |
Menurut Violla, suara tiga partai itu belum cukup memenuhi syarat 1/3 untuk menggelar sidang MPR. Dalam pasal 37 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, sidang MPR untuk mengubah pasal-pasal UUD harus diajukan paling tidak oleh 1/3 dari jumlah anggota MPR.
Dengan proporsi itu, sidang MPR sedikitnya harus diajukan oleh 237 anggota MPR atau setidaknya tiga fraksi besar di parlemen. Sedangkan, suara tiga partai tersebut baru memenuhi 187 dari 711 anggota MPR.
Namun, Violla menganggap sidang MPR bukan tidak mungkin terselenggara. Sebab baik MPR maupun DPD saat ini juga sama membawa isu lain lewat amandemen UUD.
"Sehingga substansi penundaan pemilu bisa jadi diskursus yang diperdebatkan jika usulan amendemen benar-benar ditindaklanjuti. Ini yang mesti kita waspadai bersama juga," katanya.
Hal serupa juga disampaikan ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari. Dia menilai tak ada satupun alasan dari pemerintah maupun DPR yang masuk akal agar Pemilu 2024.
Menurut Feri, alasan yang dibuat terlalu mengada-ada, konyol, dan terkesan membodohi publik.
Oleh karena itu, menurut dia, wacana penundaan mestinya gagal jika diukur berdasarkan hitung-hitungan di atas meja. Namun, kemungkinan itu bisa berbalik, jika penguasa mengabaikan konsitusi dan menggunakan seluruh kewenangan untuk menunda Pemilu 2024.
"Selama konsitusi tetap menjadi pegangan ya usaha itu pasti gagal. Tapi selagi kekuasan penggunaan berbagai kewenangan untuk menjalankan kepentingan politik bisa saja ini mendekati angka 85 persen untuk dipaksakan," katanya.