Pura Mangkunegaran tak lama lagi akan melewati masa transisi kepemimpinan. GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo atau yang akrab disapa Gusti Bhre akan memerintah dengan gelar Kanjeng Gusti Aria Adipati (KGPAA) Mangkunegara X, Sabtu (12/3). Dia akan meneruskan kepemimpinan mendiang ayahnya, KGPAA Mangkunegara IX, Jiwo Kusumo.
Sejak terbentuk pada 1757 berdasarkan Perjanjian Salatiga, Mangkunegaran merupakan kadipaten dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas. Dalam perjanjian itu disebutkan Mangkunegara I RM Said menguasai wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Di masa pemerintahan Mangkunegara II, wilayah kekuasaan Kadipaten Mangkunegaran mencapai 5.500 karya atau 3.850 hektar.
Kondisi Mangkunegaran saat ini tentu saja jauh berbeda dibanding pada masa kejayaannya. Sejarawan Solo, Susanto mengatakan saat ini kekuasaan Mangkunegara hanya sebatas wilayah Pura Mangkunegaran yang luasnya hanya sekitar 9,3 hektar saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sejak proklamasi, fungsi Mangkunegara hanya sebagai pimpinan di lingkungan Pura Mangkunegaran dan pimpinan kerabat saja," katanya saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (2/3) malam.
Menurut Susanto, hilangnya kedaulatan Mangkunegaran tak lepas dari Gerakan Antiswapraja yang menimbulkan gejolak sosial di wilayah-wilayah bekas kerajaan. Mangkunegara VIII yang saat itu berkuasa dianggap gagal mendapatkan simpati rakyat.
"Akhirnya wilayah-wilayah yang tadinya berada di bawah kekuasaan Mangkunegaran memisahkan diri dan bergabung dengan NKRI," katanya.
Lunturnya kedaulatan Mangkunegaran itu, terang Susanto, terbukti dengan gelar kebangsawanan Mangkunegara IX, Jiwo Kusumo. Saat dilantik menjadi mangkunegara pada Januari 1988, Jiwo Kusumo tidak menyandang gelar Adipati seperti leluhur-leluhurnya.
"Jadi waktu Gusti Jiwo diangkat menjadi Mangkunegara IX dia sudah tidak pakai gelar Adipati. Gelarnya hanya Kanjeng Gusti Pangeran Arya," katanya.
"Itu ada dokumen-dokumen pengangkatan," katanya.
Adipati, dalam literatur Jawa, berarti "yang memerintah" atau "yang menguasai". Menurut Sutanto, seorang adipati harus memiliki wilayah kekuasaan dan rakyat.
"Di Mangkunegaran, itu tidak terjadi," katanya.
Seiring berjalannya waktu, lanjutnya, KGPAA Mangkunegara IX Jiwo Kusumo memang kembali menyematkan gelar adipati kepada dirinya. Hal itu dilakukan untuk menjaga tradisi sekaligus keterkaitan dengan leluhur Mangkunegaran.
"Tapi sebetulnya sekarang sudah tidak ada maknanya," kata dosen Ilmu Sejarah UNS itu.
Hilangnya kedaulatan Mangkunegaran semakin diperkuat dengan lepasnya berbagai aset Mangkunegaran. Ribuan hektar tanah, pabrik, pemancar radio, stasiun, hingga pembangkit listrik milik Mangkunegaran dikuasai Pemerintah Republik Indonesia. Aset-aset tersebut di antaranya menjadi PT Perkebunan Nusantara (PTPN), RRI Solo, Stasiun Balapan, Pabrik Gula Colomadoe, dan Tasikmadu.
Kendati demikian, Susanto menyebut Mangkunegaran masih bisa berkembang dengan segala potensinya. Pasalnya, Mangkunegaran memiliki pengalaman memodernisasi institusi tradisional menjadi industri agrikultur terbesar.
Pada Masa Mangkunegara IV (berkuasa (1853-1881) Pura Mangkunegaran mengembangkan industri pertanian dengan memproduksi kopi dan gula. Mangkunegara IV pun menjadi pribumi pertama yang memiliki pabrik gula yaitu Tjolomadoe dan Tasikmadu.
"Itu semua pengetahuan yang sangat berharga. Meskipun asetnya sekarang dikuasai pemerintah, ilmunya masih ada," katanya.
Ia berharap Mangkunegara X yang akan dilantik dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki Mangkunegaran. Susanto mengatakan, tak mudah mengembalikan masa kejayaan Mangkunegaran dengan segala keterbatasannya.
"Memang harus dari awal seperti dulu leluhur Mangkunegaran membangun dari nol sampai punya pabrik dan lain sebagainya. Tergantung orang-orang yang ada di sekitar Mangkunegara X ini," kata Susanto.
Di samping itu, Mangkunegaran memiliki peran penting dalam pelestarian budaya Jawa. Selain Keraton Surakarta, Pura Mangkunegaran menjadi rujukan bagi masyarakat yang ingin mempelajari adat dan budaya Jawa khususnya peninggalan Dinasti Mataram Islam.
"Tentu saja itu menjadi tugas penting yang harus dijaga. Bahkan sudah dicontohkan oleh Mangkunegara VII sampai menyelenggarakan Kongres Kebudayaan Jawa di tahun 1918," katanya.
(syd/pmg)