Dewi Safitri
Dewi Safitri
Lulus studi Science Tech in Society dari University College London dan sekarang bekerja untuk CNN Indonesia. Penggemar siaran radio dan teka-teka silang.
KOLOM

Wis Cak Ainun, Ndak Usah Balik Dulu Saja

Dewi Safitri | CNN Indonesia
Senin, 07 Mar 2022 11:28 WIB
Ada persoalan soal minimnya diaspora RI dan betapa penting perannya di balik isu menarik balik Ainun Najib ke Indonesia.
Ilustrasi bekerja di luar negeri. Indonesia saat ini hanya punya 3,4 juta diaspora (sekitar 7-8 juta kalau ditambahkan keturunannya).(Istockphoto/SARINYAPINNGAM)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --

Berita teknologi besar tahun lalu muncul saat pendiri Twitter, Jack Dorsey, memutuskan pensiun. Kursi CEO-nya diwariskan pada Parag Agrawal, 37 tahun, yang sudah lebih dari 10 tahun bekerja sebagai Chief Technological Officer Twitter.

Agrawal sebelumnya bekerja untuk serangkaian perusahaan teknologi seperti At&T Labs, Microsoft dan Yahoo.

Ia masuk dalam daftar elit keturunan India yang jadi bos perusahaan teknologi global termasuk Google, Microsoft, IBM, Adobe, bahkan Only Fans. Daftar ini menimbulkan pertanyaan: kenapa kualitas sumber daya manusia India begitu tinggi sampai jadi CEO begitu banyak perusahaan teknologi dunia?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seorang ahli pendidikan mengatakan pertanyaan semacam ini umum muncul, tapi jawabannya sederhana: tidak.

Manusia India tidak lebih unggul dari manusia Indonesia atau mana pun. Bahwa warganya merantau ke Amerika dan menjadi CEO industri teknologi terkemuka, dari total 1,38 miliar populasinya, itu sebuah kemungkinan yang rasional.

CEO Alfabet yang jadi induk Google, Sundar Pichai, juga kelahiran India. Pichai baru naik pesawat pertama kali saat ia berangkat ke AS untuk studi master di Stanford tahun 1995. Ayahnya karyawan di perusahaan listrik dan ibunya juru tulis di Chennai. Pichai dan saudara kandungnya diharuskan banyak membaca sejak kecil. Saluran telepon baru ada saat umurnya 10 tahun, TV baru ada setelahnya.

Kisah Agrawal juga mirip begitu, pun sebagian besar CEO kelahiran India lainnya.

Ringkasnya, latar belakangnya sama saja seperti banyak orang lain di dunia. Jadi sekarang pertanyaannya: kalau tiada yang luar biasa dari Pichai dkk ini, kenapa tak ada satu pun CEO perusahaan global dari Indonesia?

Pichai dan Agrawal sama-sama meneruskan sekolah ke Stanford setelah tamat S1 Teknologi Komputer di India. Stanford mungkin sekolah sangat elit, tetapi tiap tahun ada ratusan ribu mahasiswa Asia sekolah di berbagai sekolah terkemuka dunia, termasuk mahasiswa asal Indonesia.

Yang membedakan barangkali, setelah lulus Pichai dan Agrawal menetap dan bekerja di AS hingga mendapat status kewarganegaraan setempat. Keduanya mengikuti jejak 18 juta orang India (diperkirakan 80-an juta dengan anak-turunnya) yang kini berada di seluruh dunia sebagai diaspora. China punya lebih dari 10 juta diaspora (sekitar 60-an juta dengan anak-turunnya) di seluruh dunia. Bahkan Meksiko dan Rusia diperkirakan punya warga diaspora yang sama besarnya dengan China karena derasnya arus emigrasi.

Sementara Indonesia, hanya punya 3,4 juta diaspora (sekitar 7-8 juta kalau ditambahkan keturunannya).

Perbandingan yang kontras ini menunjukkan konsep diaspora masih cukup asing untuk orang Indonesia. Berbagai studi lama tentang fenomena brain drain di dunia menunjukkan sampai saat ini, jumlah orang Indonesia yang belajar ke luar negeri dan kemudian memutuskan untuk menetap, masih jauh lebih sedikit ketimbang yang memutuskan balik kampung, dibanding sesama kolega dari China, Korea Selatan, apalagi India.

Dengan jumlah diaspora yang tak berapa besar ini mengharapkan munculnya CEO perusahaan teknologi global berstatus WNI jadi jauh lebih kecil.

Keterwakilan Indonesia di Luar 

Menjadi CEO bukan satu-satunya isu tentang jaringan diaspora. Masalah lain adalah representation alias keterwakilan.

Kalau sempat berkunjung ke kota besar di dunia, katakanlah misalnya London: ada berapa banyak restoran Indonesia di sana? Apakah warganya tahu di mana letak Indonesia dan apa yang terkenal dari negara kita?

Di kota-kota di Amerika Serikat, menemukan warung sushi atau restoran India dan Thai relatif mudah, sama mudahnya menemukan food truck tacos. Ada tidak kira-kira RM Padang di kota-kota itu?

Dengan caranya sendiri, tempat-tempat sederhana ini adalah cultural ambassador alias duta budaya negara yang diwakilinya. Seorang diplomat di Downing Street, barisan kantor pemerintah Inggris di London, kaget ketika mendengar rombongan mahasiswa yang datang berkunjung mengatakan Indonesia adalah negara dengan populasi penduduk terbesar ke-4 di dunia.

"Why do I seem to very rarely meet an Indonesian -- until now?", dia bertanya. (Kenapa saya tampaknya sangat jarang bertemu orang Indonesia -- hingga saat ini)

Isu berikut dari minimnya jaringan diaspora adalah koneksi. Dunia profesional bergerak dalam ukuran meritokrasi dan standar. Tapi katakanlah misalnya, seorang profesor di universitas terkemuka sedang mencari mahasiswa postdoc sebagai asistennya dan kemudian mendapatkan dua kandidat yang sama nilainya, dengan salah satunya sama kewarganegaraan dengannya; kira-kira siapa yang dipilih?

Dengan kata lain diaspora bisa menjadi akses untuk membuka banyak pintu bagi kesuksesan sesama warga satu bangsa.

Jadi kenapa orang Indonesia masih banyak segan merantau ke manca negara?

Sudah banyak studi dilakukan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, filosofi mangan ra mangan kumpul tampaknya masih kuat melekat. Kenyamanan tinggal dengan keluarga, bahkan kakek-nenek anak-cucu tinggal serumah, membuat pergi ke negeri jauh rasanya jadi tak terbayangkan.

Kedua, prioritas pendidikan berkualitas yang terhalang biaya. Pendidikan adalah jalur utama diaspora, makin banyak angka pelajar ke luar negeri makin besar peluang terbentuk jejaring diaspora.

Menurut Unesco (2019) jumlah pelajar/mahasiswa Indonesia di luar negeri mencapai 45 ribu jiwa (dari populasi 280-an juta). Bandingkan dengan Malaysia yang punya 70 ribu pelajar/mahasiswa di luar negeri (dari populasi 32 juta), apalagi Vietnam 200-250 ribu pelajar/mahasiswa (dari populasi 97 juta jiwa).

Ajakan presiden Presiden Joko Widodo, untuk kesekian kalinya, pada Ainun Najib agar mudik ke tanah air muncul di tengah situasi ini.

Ainun, setahun lebih muda dari Parag Agrawal, kini bekerja untuk Grab, raksasa teknologi Asia Tenggara. Lulusan madrasah ibtidaiyyah di Balonpanggang Gresik ini sudah sejak kuliah tinggal di Singapura karena beasiswa ilmu komputer di Nanyang Technological University (NTU). Ainun kemudian diminta pulang untuk "...membuat ekosistem di Indonesia supaya para talenta digital ini betah dan mau berkreasi di Tanah Air."

Awal 1970-an, permintaan serupa pernah diajukan Presiden Soeharto pada B.J. Habibie, yang saat itu 38 tahun dan menjabat wakil direktur pabrikan pesawat Masserschmitt Jerman. "Pulang, bangun negerimu", kira-kira begitu pesannya. Habibie betul kembali dan kemudian menjadi peletak dasar sistem riset dan teknologi nasional.

Lucunya dalam kasus Ainun, mayoritas warganet menganjurkannya menolak. Setelah kehebohan tentang integrasi BRIN dan diporakporandakannya Lembaga Eijkman, mereka mempertanyakan: apa yang bisa diharapkan Ainun dari ekosistem riset dan teknologi di Indonesia saat ini?

Indonesia perlu punya jaringan diaspora sekuat negara-negara Asia lain untuk maju. Orang-orang seperti Ainun adalah koneksi dan duta budaya yang berharga. Kembali ke pertanyaan awal: kalau India bisa menghasilkan tokoh seperti Agrawal atau Pichai kenapa tidak dengan Indonesia? Mungkin warganet tahu, mengharapkan Indonesia mampu menghasilkan kaliber serupa di dalam negeri adalah mustahil, setidaknya untuk saat ini.

Jadi dari pada ikut runyam seperti yang sudah-sudah, wis Cak Ainun, ndak usah balik dulu saja!

(vws)


[Gambas:Video CNN]
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER