Proklamator Sukarno dan Moh. Hatta dinilai tetap berperan dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Kota Yogyakarta meski tengah ditahan di Menumbing, Bangka Belitung.
"Di sini kunci. Karena apa? Walaupun mereka dipenjara tapi mereka tetap melakukan perjuangan-perjuangan atau langkah-langkah diplomasi melalui apa yang disebut counter-counter propaganda," kata Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Margana, dalam diskusi daring bertajuk 'Memahami Kepres Nomor 2 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara', Senin (7/3).
Ia yang juga menjadi salah satu tenaga ahli Penulis Naskah Akademik Hari Penegakan Kedaulatan Negara itu, mengungkapkan Sukarno, Hatta, dan beberapa menteri diasingkan di Menumbing, Kepulauan Bangka Belitung, saat Serangan Umum 1 Maret 1949 terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, pemerintahan kala itu berada di bawah pimpinan Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Sjafroeddin Prawiranegara.
Bentuk kontra-propaganda Sukarno-Hatta dan para tokoh yang ditahan ini salah satunya adalah dengan penerbitan dokumen 54 lembar yang menguak kampanye hitam Belanda tentang Indonesia di mata dunia internasional.
Berkas 54 halaman tersebut sampai ke meja Komisi Jasa-Jasa Baik (Committee of Good Offices) atau dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN) bentukan Dewan Keamanan PBB, pada 21 Januari 1949.
Beranggotakan tiga negara di dalamnya yakni, Belgia, Australia, dan Amerika Serikat, KTN berfungsi memfasilitasi perundingan antara Indonesia dan Belanda pada masa itu.
Dokumen tulisan M. Roem dan Hatta itu mengungkap perlakuan Belanda terhadap tahanan politik yang ditawan di Menumbing. Bahwa, Sukarno, Hatta, dan para menteri ditempatkan di kamar kecil berukuran 4x6 meter dengan sekat kawat di bagian depan.
Hal ini berlainan dengan klaim Diplomat Belanda Jan Herman van Roijen yang diperlakukan dengan baik.
"Atas protes ini anggota komite (KTN) mengunjungi mreka di Bangka, dan di situ ketahuan bahwa sebenarnya Belanda sudah berbohong," kata Margana.
Alhasil, KTN meminta Belanda memberikan keleluasaan kepada para tahanan politik di Menumbing untuk bebas menghirup udara pulau seluas 4.500 mil tersebut. Sukarno, Hatta, dan para menteri juga diberikan jaminan hak berkomunikasi dengan siapa pun.
Walaupun, Sukarno setelahnya tetap dipisahkan dari para menterinya saat itu dengan ditempatkan di Wisma Ranggam, Muntok, karena tak tahan dengan cuaca dingin.
![]() |
"Dengan jaminan kebebasan berkomunikasi itu upaya-upaya perundingan bisa dilakukan. Bagaimana mereka mau berunding kalau mereka enggak boleh berkomunikasi dengan tokoh-tokoh politik yang lain yang ada di tempat lain, termasuk yang ada di Jogja," urainya.
Melalui dokumen itu pula, klaim Van Roijen yang menyebut Indonesia hanya tersisa petingginya saja bisa ditepis. Eksistensi Indonesia mulai terangkat lagi.
"Diplomasi-diplomasi ini memerlukan dukungan militer. Untuk menunjukkan eksistensi Indonesia itu tidak hanya secara politik tetapi harus secara militer.
"Di sinilah kuncinya, kemudian di Yogya bergerak. Sri Sultan HB IX mulai melancarkan ide-ide mengenai Serangan Umum 1 Maret," sambung dia memungkasi.
Senada, Sejarawan dari UGM Julianto Ibrahim menambahkan peran Sukarno, Hatta, dan para menteri lebih ke pemantik awal peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Berkat dokumen dari merekalah keberadaan Indonesia tak hilang sepenuhnya sebelum adanya pergerakan di Kota Yogyakarta.
Sebelumnya, Anggota Komisi I DPR Fadli Zon menilai tak ada peran Sukarno dan Hatta dalam Serangan Umum 1 Maret lantaran masih ditawan di Menumbing, Bangka Belitung.
(kum/arh)