ANALISIS

Sengkarut Kriteria Penceramah Radikal di Mata Negara

CNN Indonesia
Selasa, 08 Mar 2022 17:51 WIB
Pengamat menilai BNPT atau negara telah salah kaprah memaparkan kriteria penceramah radikal, terutama yang terkait pengkritik pemerintah.
Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa’adi membuka Sosialisasi Program Bimtek Penceramah Agama Bersertifikat, Jakarta, 16 September 2020. (Dok.Kemenag)

Terpisah, Pengamat Terorisme, Al Chaidar menilai kriteria penceramah radikal yang dibuat BNPT menunjukkan lembaga yang dipimpin Komjen Pol Boy Rafli Amar itu makin salah kaprah.

Baginya, 5 kriteria penceramah tersebut bukanlah tergolong radikal, melainkan kriteria dari anarkisme. Anarkisme, kata dia, merupakan paham yang tidak menggantungkan harapan apapun pada pemerintah.

"Yang radikal itu adalah yang benci kepada negara, bukan pada pemerintah. Orang radikal enggak benci budaya lokal. Hanya orang anarkis atau tak berakar ke pemerintah yang benci budaya lokal," kata Chaidar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Chaidar turut mengkritisi BNPT soal ciri penceramah radikal yakni antipemerintahan yang sah. Baginya, kriteria itu berpeluang juga membungkam para penceramah yang mengkritisi pelbagai keputusan penguasa. Padahal, mereka ingin menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar terhadap pelbagai keputusan yang diambil rezim penguasa.

Ia menilai kriteria tersebut justru membuat para penceramah menjadi takut dan akan melakukan sensor terhadap isi ceramahnya sendiri.

"Sehingga dakwah agama akan banyak berisi kalimat-kalimat euphemisme yang memuakkan. Tidak ada lagi kritik yang menjadi penyeimbang atas tendensi otoritarianisme setiap pemerintahan," kata Chaidar.

Melihat hal itu, Chaidar menilai urusan penceramah anarkis cukup diurusi Kementerian Agama semata. Ia juga sepakat apabila Kemenag mengadakan kembali sertifikasi bagi penceramah untuk mencegah tindak radikalisme.

"Sertifikasi disertai sedikit insentif. Semua profesi sebaiknya disertifikasi. Termasuk penceramah agama dan penceramah motivasi," kata Chaidar.

Kemenag pada 2020 silam juga telah meluncurkan program penceramah agama bersertifikat. Kala itu, Wamenag Zainut Tauhid Sa'adi menerangkan peluncuran program penceramah agama bersertifikat itu menjadi momen untuk mendukung program pemerintah dalam meningkatkan kualitas layanan keagamaan.

Empat hal dari program tersebut adalah bersifat sukarela; untuk penceramah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu; diselenggarakan Kemenag bekerja sama dengan Ormas Keagamaan; dan, bukan sertifikat penceramah.

"Bukan sertifikasi penceramah tetapi penceramah bersertifikat. Jadi tidak berkonsekuensi apapun," kata Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin pada 5 September 2020 silam.

Kala itu, seperti dikutip dari situs kemenag, Kamaruddin memaparkan program Penceramah Bersertifikat merupakan arahan Wapres Ma'ruf Amin, yang juga Ketua Umum MUI. Tahun ini, target peserta program ini adalah 8.200 penceramah, terdiri 8.000 penceramah di 34 provinsi, dan 200 penceramah di pusat.

Kemenag, kata Kamaruddin Amin, melibatkan Lemhanas untuk memberikan penguatan pada aspek ketahanan ideologi. Sementara keterlibatan BNPT untuk berbagi informasi tentang fenomena yang sedang terjadi di Indonesia dan di seluruh dunia.

Tak Sembarang Pilih Penceramah

Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Mohammad Mukri mengatakan ciri-ciri penceramah radikal yang dikeluarkan oleh BNPT bukan hal yang baru.

Ia menilai indikator itu seharusnya bisa mengingatkan umat Islam agar tidak sembarangan memilih penceramah untuk berbagai forum dan acara keagamaan.

"Nahdlatul Ulama sudah sejak lama memiliki sikap yang sama dengan poin-poin yang telah dikeluarkan BNPT dan terus berkomitmen untuk menjadikannya bukan hanya sekedar wacana saja," kata Mukri dalam keterangan resminya dikutip Selasa (8/3).

Mukri menilai upaya penanggulangan radikalisme harus dilakukan pemerintah dalam wujud nyata secara serius, terstruktur, sistematis, dan masif.

Terpenting dari semua itu, kata dia, semua masyarakat punya komitmen bersama menguatkan sikap moderat dalam beragama. Hal itu sebagai solusi dalam melawan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.

Ia mencontohkan langkah nyata di era sebelum reformasi seperti keberadaan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Sejarah Perjuangan bangsa (PSPB) di sekolah dasar hingga menengah. Pelajaran itu bertujuan menguatkan pemahaman berbangsa dan bernegara.

Oleh karena itu, dia menilai saat ini diperlukan langkah serius mengikis radikalisme dalam beragama yang mengarah pada ekstremisme dan terorisme.

"Negara harus hadir dalam penanggulangan terorisme dalam wujud nyata," kata Mukri.

(kid/rzr/kid)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER