Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mempertanyakan dampak terhadap kesehatan masyarakat apabila pemerintah menghapus kewenangan penerbitan surat rekomendasi sebagai syarat penerbitan Surat Izin Praktik (SIP) dokter.
Hal ini dikatakan terkait ucapan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang meminta penghapusan kewenangan IDI terkait izin praktik kedokteran.
Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI Beni Satria menambahkan, surat rekomendasi IDI berfungsi sebagai salah satu alat validasi di masyarakat untuk memastikan praktik yang dilakukan dokter terhadap pasien aman dan sesuai kaidah etik kedokteran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tentu kami tidak akan siap terhadap itu (penghapusan rekomendasi IDI). Tentu dalam hal ini kita harus berdiri bukan hanya untuk kepentingan institusi, baik organisasi IDI, ataupun berdiri di atas kepentingan perorangan," kata Beni dalam program Newsroom CNN Indonesia TV, Jumat (1/4).
"Kami ingin berharap, apa pun keputusan pemerintah bisa berdiri di atas kepentingan dan keselamatan rakyat. Terutama dari sisi perlindungan agar dokter tetap patuh pada kode etik dan juga peraturan perundang-undangan" imbuhnya.
Beni melanjutkan, IDI telah menerima banyak aduan terkait praktik kesehatan di masyarakat yang mengatasnamakan dokter padahal seseorang itu tidak memiliki ijazah hingga SIP dokter alias dokter gadungan.
Merespons temuan itu, maka IDI menurutnya memerlukan sebuah kewenangan untuk mengeluarkan surat rekomendasi sebagai syarat penerbitan SIP dokter guna meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan atau efek samping buruk terjadi pada masyarakat.
"Tanpa surat rekomendasi, tentu IDI akan sulit melihat bahwa dokter-dokter yang melakukan praktik itu betul dokter atau tidak. Tentu ini adalah ranah organisasi untuk memberikan rekomendasi," jelasnya.
Lebih lanjut, Beni menekankan, di dalam UU Nomor 24 tahun 2009 tentang Praktik kedokteran, dijelaskan bahwa setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki SIP. Ia juga menegaskan bahwa keputusan penerbitan SIP merupakan kewenangan pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan setempat.
Pasal 37 Ayat (1) menyatakan bahwa SIP dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan. Pada Ayat (2) kemudian dijelaskan bahwa SIP dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk paling banyak tiga tempat.
Dan Ayat (3) menyebutkan bahwa satu SIP hanya berlaku untuk satu tempat praktik. Beni kemudian kembali mengingatkan bahwa pihaknya hanya memberikan surat rekomendasi sesuai yang tercantum dalam Pasal 38.
Dalam Pasal 38, berbunyi ketentuan bahwa untuk mendapatkan SIP dokter maupun dokter gigi harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dokter atau STR dokter gigi yang masih berlaku. Kemudian mempunyai tempat praktik, dan juga memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
"Maka terutama dari sisi perlindungan agar dokter tetap patuh pada kode etik dan juga peraturan perundang-undangan. Selama berdiri di atas konteks seperti itu, kami akan siap," ujar Beni.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly baru-baru ini menginginkan agar izin praktik kedokteran diserahkan ke negara. Yasonna menolak jika izin praktik dokter diserahkan ke organisasi profesi seperti IDI.
Ia menilai, organisasi profesi semacam IDI mestinya cukup hanya mengurus kualitas dan memperkuat profesi kedokteran, alih-alih mengurus izin praktik kedokteran.
Menyoal SIP, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Putu Moda Arsana sebelumnya juga telah menjelaskan bahwa pemecatan dari keanggotaan IDI akan membuat seorang dokter kehilangan kesempatan menerbitkan atau memperpanjang SIP.
Menyinggung kasus Terawan, Putu memastikan STR Terawan hingga saat ini masih aktif. Adapun untuk SIP, apabila contohnya masa berlaku habis pada 2025, maka masih ada tiga tahun ke depan bagi dokter yang dipecat untuk masih berpraktik di fasilitas kesehatan.
(khr/isn)