Perajin Beduk Tanah Abang Tetap Eksis Meski Terdesak Zaman
Beduk merupakan alat tabuh tradisional yang biasa didapati di masjid atau musala. Sebagai penentu waktu salat sebelum azan berkumandang atau untuk mengiringi lantunan takbir saat malam puncak Idulfitri.
Instrumen pukul ini menjadi benda yang banyak dicari saat bulan Ramadan. Umat Islam yang menjalankan ibadah puasa tentunya akan menunggu tabuhan suara beduk menjelang azan Magrib menandakan waktu berbuka.
Dengan permintaan masyarakat yang tinggi, Ramadan menjadi waktu yang paling dinanti perajin beduk. Maklum jika bukan bulan Ramadan, permintaan akan alat yang terbuat dari kulit kambing itu tak banyak.
Keberadaan perajin beduk masih bisa ditemui di kota besar seperti Jakarta. Walau tak banyak. Di Tanah Abang, tepatnya Jalan Kebon Melati, merupakan salah satu sentra produksi beduk di Jakarta. Berbagai ukuran beduk dengan bahan dasar drum dan kulit kambing tampak dipamerkan para perajin.
Beni Abdul Haris atau yang akrab disapa Beben (56), salah satu perajin beduk yang ditemui CNNIndonesia.com, mengaku telah menggeluti bisnis kerajinan beduk sejak tahun 1997.
Pria paruh baya itu memanfaatkan drum bekas, behel, baut, serta yang paling utama yaitu kulit kambing. Tak sembarang kulit kambing yang digunakan Beben untuk membuat beduk. Beben memiliki kualifikasi tersendiri dalam memilih kulit kambing.
Hal ini mengingat pemilihan kulit kambing merupakan faktor yang sangat penting untuk menghasilkan beduk dengan suara yang bening, lembut dan merdu.
Kulit kambing Jawa jantan menjadi kulit kambing pilihan Beben untuk membuat beduk. Kulit kambing Jawa jantan disebutnya memiliki ketebalan yang baik dibandingkan dengan kambing domba ataupun kambing Jawa jenis betina.
Menurut Beben, untuk proses pengeringan kulit kambing memerlukan waktu dua hari. Itu pun jika cuaca terbilang cerah, sementara jika warna kelabu merata di angkasa, proses pengeringan kulit bisa memakan waktu hingga lima hari.
Dari tangan terampilnya, Beben bisa meraup omzet Rp18 juta dalam sebulan. Meski demikian, pesanan beduk Ramadan tahun ini belum seramai yang diharapkan. Biasanya pesanan datang dari personal maupun dari instansi pemerintah, mulai dari kelurahan hingga kecamatan.
"Ramadan kemarin Alhamdulillah semuanya masuk para langganan, tapi tahun ini nggak ada yang masuk nih. Baru masuk satu orang doang. Pesanannya gak banyak, cuma 35," kata Beben.
Beben bercerita, saat beduk masih menjadi primadona, ia dapat mengumpulkan pundi yang lebih banyak. Bahkan jika Ramadan tiba, ia akan kewalahan mengerjakan pesanan yang membeludak. Ia harus meminta bantuan sang anak untuk mengerjakan pesanan beduk.
Seiring berkembang zaman, beduk tak lagi banyak dilirik. Beduk bukan menjadi satu-satunya alat yang mesti tersedia di setiap masjid atau musala.
Beben pun menyadari itu. Namun ia tak berniat berhenti dari bisnis yang telah ia jalankan selama 25 tahun. Ia yakin rejeki sudah diatur Sang Kuasa.
(lna/isn)