Target, Prestise dan Cari Musuh Kejahatan Jalanan 'Klitih' Yogyakarta

CNN Indonesia
Kamis, 07 Apr 2022 05:21 WIB
Ilustrasi. Polisi melakukan razia meminimalisasi kejahatanan jalanan. (ANTARA FOTO/Didik Suhartono)
Yogyakarta, CNN Indonesia --

Kriminolog Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Soeprapto mengungkap para remaja pelaku kejahatan jalanan atau yang kerap disebut warga sebagai 'klitih' di Yogyakarta memiliki kriteria dalam menentukan target.

Hal tersebut diungkap Soeprapto berdasarkan kajian yang telah dilakukannya. Soeprapto mengatakan pelaku aksi kejahatan jalanan ini memiliki kesepakatan tak tertulis dalam tiap aksinya.

Pertama, mereka tak merampas harta benda atau barang bawaan target mereka. Kedua, tidak akan menyerang perempuan. Ketiga, anti melukai orangtua.

"Mereka tidak akan menyerang laki-perempuan yang berboncengan (sepeda motor)," kata Soeprapto saat dihubungi, Rabu (6/4).

Pasalnya, ia menyimpulkan, tujuan utama klitih ini adalah mencari musuh. Aksi itu, sambungnya, apabila menyasar mereka-mereka yang disebutkan di atas tak akan menumbuhkan kebanggaan dari para pelakunya.

Akhirnya, para pelaku memilih lawan yang seimbang atau sebaya dengan mereka.

"Karena ini ada nilai prestise dari mereka," ujar Soeprapto.

Dia memperoleh informasi-informasi tersebut lewat penelitian metode participant observation atau pengamatan partisipan sepanjang 2004/2005-2010 lalu.

"Saya menyamar sebagai tukang batu pulang dari kerja. Ketemu mereka (pelaku klitih) yang biasanya mangkal di dulu warung burjo atau sekarang warmindo," ungkapnya.

Selama proses itu, Soeprapto mengaku mencuri dengar obrolan para pelaku klitih yang didominasi remaja. Mulai dari waktu eksekusi, rute, sandang hingga senjata yang akan dipakai.

"Arep mangkat jam piro (mau berangkat jam berapa), arep nganggo klambi opo (mau pakai baju apa), atau bawa pedang atau apa. Itu terus saya ikuti," bebernya.

Target dari para pelaku klitih ini spontan yang ditemui di jalanan. Namun, persiapan mereka tetap melalui rapat panjang para pelakunya.

"Tetapi saya juga sempat mewawancarai beberapa mantan pelaku. Sering ketemu. Bahkan ada yang ngajak nulis bareng. Kalau korban saya belum. Karena kadangkala sebetulnya kalau kita mau jujur, ada juga korban yang sebetulnya itu pelaku. Cuma dia kena duluan," urainya.

Soeprapto mengaku termasuk golongan yang tidak setuju istilah klitih dipakai memaknai aksi kejahatan jalanan. Bukan cuma dirinya, ia mengklaim beberapa akademisi perguruan tinggi lain juga berpendapat demikian.

Dia lebih setuju jika kejahatan jalanan ini disebut anirat jalanan atau penganiayaan berat di jalan oleh pelajar. Selain klitih bukan istilah baku dalam nomenklatur hukum juga demi memulihkan makna sesungguhnya.

Soeprapto menerangkan klitih adalah Bahasa Jawa yang berarti sebuah aktivitas mengisi waktu luang secara positif. Lengkapnya, klitah-klitih. Ia mengatakan aktivitas itu tak terbatas untuk kegiatan di jalanan. Menurutnya menulis, membaca, mengisi teka-teki silang (TTS) pun termasuk klitih.

"Tetapi ketika itu diadopsi, dipakai istilah itu oleh remaja, oleh pelajar jadi bermakna kegiatan mencari musuh. Atau menjadi negatif," kata Soeprapto.

Soeprapto menerangkan, istilah klitih mengalami pergeseran atau penyempitan makna selama periode 2004/2005 hingga 2009 lalu. Para pelajar mulai menggunakan klitih sebagai kata ganti kegiatan tawuran.

Semua berawal ketika Pemerintah Kota Yogyakarta melalui para kepala sekolah menerapkan kebijakan untuk mengembalikan setiap siswa terlibat aksi tawuran kepada orangtua. Alias dikeluarkan.

Sejak pendisiplinan itu, para pelajar mulai merasa dibatasi dan tak leluasa membuktikan eksistensi diri, melampiaskan kekecewaan, dendam, dan lain sebagainya lewat tawuran.

"Sehingga lalu dia keliling kota naik sepeda motor untuk mencari musuh, memancing remaja sebaya untuk diajak bertikai. Akhirnya lalu setiap kali ada kegiatan kekerasan jalanan oleh remaja disebutnya klitih," ungkapnya.

(kum/kid)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK