Mengenal Big Data yang Disinggung Luhut di Isu Penundaan Pemilu 2024

CNN Indonesia
Rabu, 13 Apr 2022 18:46 WIB
Luhut mengklaim dari big data yang ia pegang ada dukungan masyarakat soal penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Ilustrasi. Big data jadi dalih dorong penundaan Pemilu 2024. (Foto: Istockphoto/ South_agency)
Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyinggung soal big data terkait isu penundaan Pemilu 2024. Sebenarnya, apa itu big data?

Luhut mengklaim 110 juta percakapan di media sosial yang masuk big data yang dipegang pihaknya mendukung penundaan Pemilu 2024.

"Karena begini, kita kan punya big data. Saya ingin lihat. Dari big data itu, kira-kira meng-grab 110 juta. Iya, 110 juta, macam-macam, Facebook, segala macam-macam, karena orang-orang main Twitter, kira-kira orang 110 jutalah [dukung penundaan]," kata Luhut belum lama ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski begitu, sampai saat ini Luhut masih menolak untuk mengungkapkan big data yang dimaksudnya.

Dilansir dari laman Oracle, yang dimaksud dengan big data adalah kumpulan data dengan kapasitas penyimpanan yang besar, terutama dari sumber data baru. Kumpulan data ini berisi lebih banyak variasi dan dapat memproses berbagai jenis data dengan kecepatan tinggi.

Big data memungkinkan pengelolaan penyimpanan objek dan data untuk selanjutnya dilakukan analisis terkait opsi-opsi terhadap suatu isu yang diperbincangkan.

Kumpulan data ini amat banyak sehingga bisa digunakan untuk mengatasi berbagai masalah yang selama ini sulit diselesaikan.

Oracle menyebut ada tiga hal penting yang diperlukan untuk mengumpulkan big data, yakni volume, kecepatan, dan variasi data.

Pertama, volume yang dimaksud misalnya berupa data dengan jumlah yang tidak diketahui, seperti feed di Twitter, aliran klik di web atau mobile aplikasi yang mungkin jumlahnya mencapai puluhan atau bahkan ratusan terabyte data.

Kedua, kecepatan di mana data yang diterima bisa ditindaklanjuti. Biasanya, aliran data dengan kecepatan tinggi langsung masuk ke memori dibandingkan masuk disk. Beberapa produk pintar dengan akses internet beroperasi di waktu yang nyata akan memerlukan evaluasi dan tindakan nyata.

Ketiga, variasi yang mengacu pada jenis data yang tersedia. Lewat big data, data datang dalam tipe baru yang tidak terstruktur dan semi terstruktur, seperti teks, audio, dan video yang memerlukan pemrosesan tambahan untuk mendapatkan makna dan mendukung metadata.

Saat ini, big data telah menjadi modal bagi beberapa perusahaan teknologi terbesar di dunia. Sebagian besar hal-hal yang ditawarkan berasal dari data yang terus dianalisis untuk menghasilkan lebih banyak efisiensi dalam pengembangan produk baru.

Sejarah Big Data

Asal mula big data dimulai pada dekade 1960-an dan dan 1970-an ketika dunia perdataan baru saja dimulai dengan pusat data pertama.

Pada 2005, orang mulai menyadari betapa banyaknya data yang dihasilkan pengguna Facebook, YouTube, dan layanan online lainnya. Hadoop (open source khusus untuk menyimpan dan menganalisis kumpulan big data) dikembangkan pada tahun yang sama. NoSQL juga mulai mendapatkan popularitasnya.

Pengembangan open source semacam ini dinilai sangat penting untuk pertumbuhan big data karena mereka membuatnya lebih mudah digunakan dan lebih murah untuk disimpan.

Sejak saat itu, volume big data kian meroket. Dan, bukan hanya manusia yang mengolahnya. Kemunculan Internet of Things (IoT), dengan lebih banyak objek dan perangkat yang terhubung ke internet, serta pembelajaran mesin (machine learning), telah menghasilkan lebih banyak data.

Saat big data berkembang pesat, kegunaannya baru saja dimulai. Komputasi awan alias Cloud yang fleksibel telah memperluas kemungkinan pemakaian big data. Ditambah basis data grafik, kemampuannya untuk menampilkan sejumlah besar data dengan cara yang analitik menjadi cepat dan komprehensif.

Terlepas dari segala keunggulannya, big data tetap mesti bersandar pada data sesungguhnya.

Pakar keamanan siber dari lembaga riset CISSReC Pratama Persadha meragukan kebenaran klaim dukungan 110 juta percakapan di big data versi Luhut karena pengguna Twitter, yang paling aktif dalam topik politik, pun tak sampai angka itu.

"Jadi kemungkinan 110 juta data berasal dari Twitter sudah pasti tidak mungkin karena jumlah akun aktifnya di Indonesia sedikit," ujar dia, Selasa (12/4).

Meski masih ada kemungkinan itu berasal dari pengguna Facebook, Pratama pesimistis Meta membagi data dengan pihak ketiga, terutama pascakasus Cambridge Analytica di Pilpres Amerika Serikat 2016.

"Karena itu, kita perlu bertanya 110 juta yang disampaikan Pak Luhut ini mengambil data dari platform apa dan bagaimana metodologinya?" tandas Pratama.

[Gambas:Video CNN]

(ttf/mik)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER