Jakarta, CNN Indonesia --
Heri (37) duduk termenung di pinggir jalan sambil menenteng sebuah karung besar. Sesekali ia menoleh ke kiri, memandang dua anak perempuannya yang berlari-larian dengan girang di trotoar yang dipenuhi pedagang takjil.
Heri beberapa kali terdengar menghela napas. Azan Magrib sebentar lagi berkumandang.
"Dek, sini. Duduk sini," kata Heri kepada kedua anaknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua bocah kecil itu pun langsung menghampirinya. Heri dan kedua putrinya tinggal di pinggir jalan. Mereka biasanya tidur di kolong-kolong jembatan sekitar Jakarta.
Saat Ramadan, mereka biasa menyambangi kawasan Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Cijantung, Jakarta Timur, dengan harapan ada pejalan kaki yang bermurah hati menyisihkan sebagian rezeki untuk mereka.
Sehari-hari, pekerjaan Heri memulung. Ia memilah sampah dan membawanya dengan karung ditemani kedua anaknya.
Tanpa lelah, ia memanggul karung menyusuri jalan-jalan mencari botol, kardus, dan barang bekas lainnya. Heri mengatakan, biasanya menjual hasil memulungnya dua minggu sekali.
"Kalau saya dikumpulin dulu. Dibersihin kan. Saya jualnya bersih, dikumpulin. Paling dua minggu [kemudian] baru dijual," ujar Heri. Matanya tampak lelah.
Pendapatan Heri tidak seberapa. Biasanya, ia mendapatkan uang sekitar Rp200 ribu sekal menjual hasil memulungnya. Namun, ia bersyukur dengan hasil kerjanya itu.
Heri mengatakan, asalkan anak-anaknya kenyang, ia tidak masalah menyeret kaki ke sudut-sudut Jakarta.
Heri pun bercerita, di bulan Ramadan, banyak orang-orang baik yang memberikan mereka makanan baik untuk sahur maupun berbuka.
Beberapa orang kadang membangunkannya untuk memberikan makan. "Lumayan jadi kita enggak beli makan. Duitnya utuh. Hehehe," ucapnya sambil tertawa.
Sementara itu, Lebaran untuknya berarti menahan rindu. Heri sudah 15 tahun tidak pulang ke kampung halamannya di Kalimantan karena tak punya uang.
"Kalau saya sudah netap disini, enggak pernah pulang," tuturnya.
Heri pun menunduk. Pandangannya jatuh pada aspal luas yang terbentang di depannya.
Ia mengaku rindu dengan kebersamaan saat buka puasa dan bersilaturahmi ke rumah tetangga saat Idulfitri.
"Sedih kalau ingat," kata Heri lirih.
Heri menuturkan tidak pernah merayakan Lebaran seperti orang-orang kebanyakan. Tiap kali bertemu dengan Hari Kemenangan itu, dia justru keluar ke jalan dan memulung untuk menahan rindu di dalam dirinya.
Ia pun mengatakan selama ini tidak pernah ada kegiatan atau bantuan dari pemerintah untuk pemulung seperti dirinya. Menurutnya petugas Pelayanan, Pengawasan, dan Pengendalian Sosial (P3S) dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta justru mengejar-ngejarnya untuk ditertibkan.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Siti (39), wanita asal Ciamis, Jawa Barat, yang juga bekerja sebagai pemulung, mengaku sering mendapatkan bantuan dari Kopassus selama Ramadan.
Siti mengatakan, Kopassus sering memberikan bantuan tak hanya berupa makanan atau sembako, tetapi juga izin untuk melihat-lihat dan mengorek sampah di rumah mereka. Karena itu, hasil memulungnya hampir selalu banyak dengan didominasi botol-botol plastik.
Ibu empat anak itu pun mengaku baru setahun belakangan ini menjalani pekerjaan sebagai pemulung. Sebelumnya, Siti berjualan mie ayam dan bakso, tapi terpaksa tutup karena pembatasan akibat pandemi Covid-19 tahun lalu.
Siti mengungkapkan, penghasilannya dari memulung bisa mencapai sekitar 20 kilogram sehari. Dari hasil itu, dia bisa memeroleh uang sekitar Rp50 irbu.
"Kadang enggak nentu. Itu Rp50 ribu itu enggak tiap hari, kadang kurang. Karena kan namanya sampah kadang ada, kadang enggak," ujarnya.
Menyambut Lebaran, Siti mengatakan tidak ada rencana khusus. Ia berniat tetap berada di kontrakan kecilnya bersama dengan empat anaknya.
Menurutnya, Lebaran jadi waktu istirahat bagi dirinya setelah selama setahun ini berjalan dari satu rumah ke rumah lainnya. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, Siti mendambakan bisa mudik dan berkumpul dengan keluarga besarnya di kampung halaman.
"Buat saya sebenarnya kalau Idulfitri itu ya, penginnya ngumpul. Karena sudah tiga lebaran ini kan saya belum bisa pulang," katanya tersenyum.
Pemulung Ditertibkan dan Dipulangkan
Berdasarkan data Dinas Sosial Pemprov DKI Jakarta, sepanjang 2020 tercatat ada 4.622 orang berstatus penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Jumlah tersebut didominasi mereka yang berstatus gelandangan dengan jumlah 1.044 orang.
Kepala Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta, Premi Lasari, mengatakan Dinsos selalu berupaya menertibkan PMKS di Jakarta. Hal itu dilakukan setiap hari di sejumlah wilayah.
Pada Rabu (20/4), tercatat sebanyak 59 PMKS ditertibkan dinsos di 10 Kecamatan di kawasan Jakarta Timur. Sebanyak 59 PMKS itu terdiri dari 16 pemulung, 12 pengamen, 11 pedagang asongan, 6 parkir liar, 3 manusia gerobak, 3 gelandangan, 2 anak jalanan, 2 pengemis, 1 orang dengan masalah kejiwaan (ODMK), 1 peminta sumbangan, dan 1 orang terlantar.
"Tiap hari kami bersama Satpol PP mengadakan operasi tali asih dan asuh. Lalu akan kami assessment (penilaian) dan lakukan pembinaan di panti," ujar Premi saat dihubungi, Kamis (21/4).
Premi berujar, jika para PMKS itu masih memiliki keluarga, maka mereka akan dikembalikan ke keluarga masing-masing dengan syarat tidak boleh kembali ke jalanan.
Selain itu, jika PMKS berasal dari luar kota, maka Dinsos Pemprov DKI Jakarta akan berkoordinasi dengan dinsos daerah untuk memulangkan mereka.
"Jika ada keluarga yang masih ada, maka akan dikembalikan ke keluarga dengan jaminan mereka tidak kembali ke jalan. Bagi yang dari luar kota, kami koordinasi dengan dinsos daerah yang bersangkutan untuk dipulangkan," kata dia.