Menanggapi polemik yang terjadi dan kabar terbaru soal LGBT di dalam RKUHP, aktivis pendukung kelompok minoritas seksual dan gender meminta kepada pemerintah hingga parlemen sebagai pembuat kebijakan di negara ini untuk menjauhi ruang privat warga negara.
"Saya cuma minta tolong baik bapak Mahfud MD, baik itu bapak Arsul Sani, atau siapapun pembuat kebijakan atau pemegang kuasa saat ini, tolong jauhi ranah privat warga negara, itu aja. Jangan sampai yang kemarin yang tidak menjadi masalah akhirnya menjadi masalah," ujar Staf Respon Krisis dari Crisis Respond Mechanism (CRM) Riska Carolina saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (11/5) malam.
"Kan ruang privat warga negara bukanlah sesuatu hal yang namanya victimless crime atau kejahatan tanpa korban," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
CRM merupakan konsorsium yang fokus pada mobilisasi sumber daya untuk pencegahan dan penanganan krisis terhadap kelompok minoritas seksual dan gender.
Riska menilai pernyataan Arsul agak meleset jika mengatakan pasal LGBT. Menurutnya, pasal zina itu harusnya menyasar pada semua orang, bukan hanya kelompok LGBT.
Jika ada disparitas sasaran yang ditegaskan dalam RKUHP, pihaknya menilai berpotensi terjadi main hakim sendiri yang dilakukan masyarakat.
Sementara itu Menko Polhukam Mahfud MD dalam pernyataannya lewat akun Twitter mengatakan secara pribadi pendapatnya terkait LGBT masih sama dengan yang pernah disampaikannya pada 2017. Dia menyatakan pada 2017 silam dirinya mengusulkan ke DPR agar nilai-nilai moral keagamaan terkait zina dan LGBT dimasukan ke dalam KUHP.
"Tapi hingga sekarang usul itu belum diterima sbg hukum dan baru berlaku sebagai kaidah agama dan moral," katanya.
Selain itu, ia menjelaskan hingga saat ini, RUKHP yang diterimanya merupakan draf tertanggal September 2019. Pada draf RKUHP tersebut, kata Riska, pasal pencabulan berbunyi 'Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:' akan dipidana.
"Nah kalau bunyinya demikian, maka tidak ada diskriminasi, maka kami tidak masalah," terang Riska.
Dia mengatakan setuju bahwa tindakan pasal cabul pantas untuk dipidana. Namun, Riska menekankan perbuatan cabul yang dimaksud bukanlah hanya sesama jenis saja. Pasalnya, penyebutan pasal LGBT itu menurutnya diskriminatif.
"Jadi saya setuju aja siapapun yang melakukan cabul, itu pantas untuk dipidana, mau sama jenis kelaminnya, mau beda jenis kelaminnya dipidana. Tidak harus disebut pasal LGBT gitu lho. Itu mendiskriminasi namanya," kata dia.
Selain itu pihaknya yang juga bagian dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP menuntut transparansi pemerintah dan DPR terkait rancangan aturan yang mengatur delik praktik LGBT.
"Saya dan juga Aliansi Nasional Reformasi KUHP menuntut transparansi. Karena sejauh ini belum ada draf ataupun pembahasan RKUHP yang dibuka publik kembali," kata Riska.
Perihal draf terbaru RKUHP yang belum jua didapat masyarakat sipil pun diamini Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Johanna Poerba.
Johanna meminta DPR agar terbuka menyebarluaskan draf RKUHP terbaru. Berdasarkan informasi rekan-rekannya yang memantau pembahasan RKUHP, Johanna berujar masyarakat sipil kesulitan mengakses draf terbaru.
"Dari beberapa teman saya yang memantau isu RKUHP ini, mereka masih pegang draf yang sama dengan saya (September 2019). Kami berharap draf yang dimaksud sama pak Arsul Sani [yang mengatur delik LGBT] di-share ke publik dan pembahasannya terbuka seperti di RUU TPKS [Tindak Pidana Kekerasan Seksual]," kata dia.
(ryn, pop/kid)