Podcast Deddy, LGBT dan Ancaman Diskriminasi di RKUHP
Pascalebaran 2022, polemik perihal isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) hingga aturan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menghiasi media sosial dan halaman media massa.
Rangkaian itu berawal setelah pesohor Deddy Corbuzier mengunggah rekaman video podcast yang mengundang narasumber pasangan gay di kanal Youtube miliknya.
Video itu menimbulkan kegaduhan dan menuai respons dari banyak pihak, termasuk dari MUI hingga DPR yang keberatan dengan tayangan tersebut.
Berbilang hari sejak video yang diunggahnya menjadi polemik, Deddy lantas meminta maaf kepada publik dan mencabut alias takedown rekaman podcast dengan narsum gay itu dari kanal Youtubenya.
Meskipun begitu, pembicaraan seputar isu LGBT tidak lantas berhenti. Menko Polhukam Mahfud MD ikut bersuara terkait isu tersebut lewat akun media sosialnya.
Mantan hakim konstitusi itu mengatakan saat ini tidak ada payung hukum yang melarang LGBT. Ia menjelaskan berdasarkan asas legalitas seseorang dapat dijerat sanksi hukum jika sudah ada produk hukumnya. Jika belum ada produk hukum, maka hanya sekadar sanksi otonom atau sanksi moral.
Ia mengklaim sudah mendorong DPR untuk membuat payung hukum yang melarang praktik LGBT.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani menyatakan delik praktik LGBT serta zina sudah masuk dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) hasil pembahasan di DPR periode 2014-2024.
"Soal delik zina dan perilaku cabul LGBT itu sudah masuk dalam RKUHP hasil pembahasan pemerintah dan DPR periode lalu. Jadi, enggak perlu didorong-dorong lagi karena memang sudah dibahas dan disepakati," kata Arsul saat dihubungi, Rabu (11/5).
Lantas, bagaimana urgensinya memasukkan perihal LGBT ke dalam kitab undang-undang hukum pidana tersebut?
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Johanna Poerba mengatakan berdasarkan draf RKUHP yang ia pegang per September 2019, perbuatan cabul sesama jenis termuat dalam Pasal 420 (1).
Pasal di dalam draf yang ia pegang itu berbunyi: "Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori III."
Sementara jika perbuatan cabul itu dilakukan secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, ancaman pidananya adalah penjara maksimal sembilan tahun. Begitu juga ancaman pidana penjara sembilan tahun untuk tindakan cabul yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi.
Johanna menilai penentuan unsur pidana pencabulan tidak perlu penegasan mengenai jenis kelamin. Ia mengatakan pasal pencabulan bertujuan untuk memidanakan perbuatan cabul tanpa konsen atau persetujuan. Oleh sebab itu, menurut dia, pasal tersebut seharusnya menyasar kepada siapa saja dan jenis kelamin apa saja.
"Seharusnya unsur terhadap orang lain yang berbeda atau sesama jenis kelaminnya menurut kami tidak perlu dicantumkan di dalam pasal pencabulan ini," ujar Johanna kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Kamis (12/5).
"Mengatur tindak pidana pencabulan ini cukup secara umum saja tidak perlu menentukan jenis kelaminnya, dan perlu diatur lebih spesifik tentang anak," sambungnya.
Pihaknya mengkhawatirkan dengan dimasukkannya delik praktik LGBT ke dalam RKUHP nantinya bisa meningkatkan diskriminasi, kriminalisasi, dan persekusi terhadap kaum minoritas tersebut.
Berdasarkan data Arus Pelangi, terjadi peningkatan kasus pembunuhan terhadap Transgender perempuan (Transpuan) di Indonesia sejak tahun 2016 (3 kasus), 2017 (4 kasus), 2018 (5 kasus), dan 2019 (6 kasus).
Sebagai informasi, Arus Pelangi adalah organisasi yang menolak segala bentuk diskriminasi terhadap kaum LGBT.
Lihat Juga : |
Sikap Komnas HAM terkait LGBT di Mata Negara
Dihubungi terpisah, Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM/Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menegaskan sikap pihaknya masih sama alias tidak berubah mengenai LGBT.
Ia menyatakan negara atau siapa pun tidak boleh mendiskriminasi atau menghukum seseorang berdasarkan orientasi seksual.
"Komnas HAM sikapnya tetap bahwa negara atau siapa pun itu tidak boleh diskriminasi atau kemudian menghukum seseorang berdasarkan orientasi seksualnya, suku, agama, ras, dan latar belakang sosial," kata Beka.
Ia menerangkan negara hanya bisa berperan dalam membatasi atau menghukum perilaku seksual seseorang terkait kriminalitas. Ia menjelaskan perilaku seksual di antaranya meliputi kekerasan seksual, perzinahan, pemerkosaan, ancaman, dan kejahatan terhadap anak.
"Negara itu bisa menghukum perilaku seksual," ucap dia.
Lebih lanjut, Beka menafsirkan pernyataan Arsul Sani soal praktik LGBT dalam kaitannya dengan RKUHP sebagai jerat pidana berdasarkan perilaku seksual seseorang, bukan orientasi seksualnya.
CNNIndonesia.com sudah menghubungi Arsul Sani melalui pesan tertulis dan sambungan telepon untuk mendalami proses pembahasan RKUHP saat ini, namun belum diperoleh jawaban.
Sementara itu, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto sebelumnya menyatakan bahwa pembahasan RKUHP sudah selesai dan tinggal diketuk alias disahkan.
"Sudah selesai, tinggal ketok. Itu sudah selesai," kata Bambang pada Kamis (7/4) lalu.
Meskipun begitu, ia bilang pemerintah belum setuju RKUHP disahkan pada saat ini. Ia menduga argumen politik menjadi dasar pemerintah belum mau mengesahkan RKUHP.
Politikus PDIP itu meminta publik menunggu pengesahan RKUHP pada Juni 2022 mendatang, sebagaimana diungkapkan pemerintah.
"Kita sudah selesai kok, ketika mau disahkan, pemerintah belum siap. Kenapa belum siap? Menurut saya, argumennya sih politik. Jadi tunggu sebentar lagi. Kalau mereka bilang Juni, ya Juni," kata Bambang.
Baca halaman selanjutnya perihal ruang privat warga di tangan negara.