Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto menilai pembentukan koalisi baru untuk ambisi pilpres 2024 ini tentu berisiko buruk bagi masyarakat. Sebab, orang-orang yang terlibat di dalamnya saat ini masih ada dalam koalisi pemerintahan Jokowi- Ma'ruf Amin setidaknya hingga 2024 mendatang.
"Karena bukan tidak mungkin kerja- kerja pemerintahan ketika para politikus melihat peluang politiknya pada 2024 mendatang. Khususnya lebih terfokus mengurus partainya," kata dia.
Sebagai informasi, Jokowi juga sudah mengingatkan agar berisan menteri yang ada di kabinetnya untuk fokus kerja, ketimbang ribut copras capres. Hal itu diungkapkan oleh Wakil Presiden Ri, Ma'ruf Amin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Belum [kampanye], yang penting seperti Presiden bilang, fokus pekerjaan, tetap fokus," kata Ma'ruf seusai menghadiri Rapat Pelaksanaan Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (11/5).
Namun, seperti angin lalu, ucapan Jokowi menguap begitu saja. Beberapa menterinya sudah bermanuver bahkan membuat koalisi baru.
Arif yakin Jokowi dan Ma'ruf sebagai pemimpin pemerintahan pusat sudah berupaya mengantisipasi itu. Sebab, pola menteri-menteri kehilangan fokus di akhir periode itu berulang.
"Tantangan bagi Jokowi-Ma'ruf adalah menjaga soliditas. Yang kedua adalah memastikan bahwa kinerja pemerintah tidak lalu merosot begitu masuk ke tahun politik," ucapnya.
"Sekarang saja tanpa diganggu kelewat serius oleh kepentingan kepentingan partikular politik sudah merosot," lanjutnya.
![]() |
Terpisah, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin berpendapat tidak ada masalah jika sejumlah menteri di pemerintahan Jokowi-Ma'ruf mulai bermanuver menjelang Pemilu 2024. Ngabalin mengatakan setiap warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih, sehingga manuver mereka adalah hal wajar.
Politikus Partai Golkar itu justru mempertanyakan pihak-pihak yang melarang manuver para menteri.
"Para menteri juga punya hak untuk dipilih dan memilih, berhak juga mempersiapkan diri menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Di mana salahnya?" kata Ngabalin dalam video di akun Instagram @ngabalin, yang dikutip pada Sabtu (14/5).
Meskipun demikian, Ngabalin mengingatkan agar para menteri tetap memperhatikan tugas dan tanggung jawab di pemerintahan. Dia menilai persiapan untuk Pilpres 2024 tak masalah selama tidak mengganggu kerja-kerja menteri.
Sementara itu, Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Jati menilai posisi PPP, PAN, dan Golkar dalam posisi yang dilematis.
"Mereka masih berupaya untuk tetap setia, tapi juga harus dihadapkan pada realita bahwa mereka tetap ingin berkuasa," kata Wasisto kepada CNNIndonesia.com, Selasa (17/5).
Namun, menurut Wasisto, corak politik di Indonesia itu lebih condong ke arah pragmatis, bukan ideologis. Parpol akan memilih yang paling banyak menguntungkan.
Ia mencontohkan pada masa kepresidenan Jilid II Susilo Bambang Yudhoyono (2009-2014). Banyak partai partai koalisi pemerintah saat itu mencari platform atau koalisi baru karena SBY sudah tak bisa lagi naik di pilpres berikutnya.
Wasisto menilai, pola itu juga yang terjadi saat ini dengan munculnya Koalisi Indonesia Bersatu.
"Kecenderungan pragmatis ini sudah menjadi habitus ya, karena memang itulah yang terjadi di kita setelah kita mengenal Pilpres pada tahun 2004. Artinya memang koalisi yang dibangun atas dasar personality figure, SBY maupun Jokowi," kata dia.
"Ketika sudah menjelang garis finis kekuasaan, ya maka partai partai berikutnya akan mencari platform baru yang menjadi tempat bernaung mereka," imbuh Wasisto.
Sama seperti Arif, Wasisto pun beranggapan bakal calon yang diusung menjadi salah satu tolok ukur kerhasilan koalisi baru ini.
"Itulah yang menurut saya menjadi persyaratan khusus untuk melihat siapa yang akan menjadi tokoh yang diorbitkan. Itu menjadi salah satu tolak ukur sukses-tidaknya partai untuk bisa bernaung di 2024 nanti," ucap dia.
Sebagai informasi, koalisi ketiga partai tersebut kemungkinan bisa mengusung capres. Sebab dianggap memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential treshold sesuai aturan Pasal 222 UU Pemilu.
Jika ditotal didapat gabungan perolehan suara Golkar, PAN, dan PPP mencapai 23,67 persen atau lebih sekitar 3 persen dari ambang batas 20 persen.
Lihat Juga : |