Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'ad menilai penolakan Singapura atas kedatangan Abdul Somad alias UAS adalah hal yang biasa saat sebuah negara mencegah da tangkal (cekal) warga negara asing.
Menurutnya, apa yang dialami UAS baru-baru ini juga pernah menimpa tokoh Indonesia lainnya. Ia pun menyandingkan kasus UAS dengan penolakan Amerika Serikat terhadap Prabowo Subianto--saat ini Menteri Pertahanan RI-- pada 2000-an, dan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo pada 2017.
"Saya kira masih banyak kejadian serupa yang menimpa warga negara Indonesia lainnya. Jadi, menurut saya hal tersebut hal biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan," kata Zainut dalam keterangan tertulisnya, Jumat (20/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia pun menjelaskan saat Prabowo dan Gatot ditolak Amerika Serikat.
"Misalnya Pak Prabowo pernah tidak diijinkan masuk ke Amerika Serikat sewaktu beliau ingin menghadiri kelulusan putranya di Boston pada tahun 2000. Hal serupa juga menimpa mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo ditolak masuk ke Amerika Serikat tahun 2017," kata Zainut.
Sebagai informasi, Prabowo sempat ditolak masuk ke AS pada 2000 silam ketika hendak menghadiri wisuda anaknya, Ragowo Hediprasetyo atau Didit Hediprasetyo yang saat itu kuliah di Boston.
Saat itu tidak diketahui jelas alasan Departemen Luar Negeri AS menolak visa Prabowo. Namun, laporan New York Times pada Maret 2014 menyebutkan pemerintah federal AS disebut sempat menjauhkan diri dari pendukung mantan Presiden Soeharto pascakejatuhan rezim Orde Baru. Selain itu, Prabowo pun diduga di-blacklist AS karena diduga terlibat pelanggaran HAM pada 1998 silam.
Dan, Prabowo akhirnya baru bisa menginjak lagi tanah Paman Sam setelah dia menjadi Menteri Pertahanan RI pada 2020 silam.
Sementara, Gatot dilarang masuk ke AS ketika ia masih menjabat sebagai Panglima TNI. Saat itu Gatot sedianya terbang ke AS untuk hadir dalam Chiefs of Defence conference on country Violent Extremist Organization (VEOs).
Dengan dua kejadian di atas, menurut Zainut, semua pihak harus memahami petugas imigrasi di berbagai negara termasuk Indonesia memiliki otoritas untuk menolak atau menerima warga asing untuk masuk wilayah suatu negara. Menurutnya, hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan negara tersebut.
"Jadi menurut saya masalah pencekalan terhadap UAS meskipun kita ikut prihatin terhadap kejadian tersebut, namun sebaiknya kita tetap bersikap proporsional, tidak perlu emosi yang berlebihan," ujar Zainut.
Zainut juga meminta sejumlah pihak tidak mengaitkan masalah tersebut dengan intervensi politik negara, Menurut dia, hal tersebut sangat tidak relevan dan tidak beralasan.
"Akan lebih bijak jika kita melakukan muhasabah untuk mengambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa tersebut," kata dia yang juga dikenal sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.
Sebelumnya, UAS ditolak masuk ke Singapura oleh otoritas setempat. Kementerian Dalam Negeri Singapura menyebut sejumlah alasan menolak kedatangan UAS di negara tersebut.
Salah satu poinnya yaitu UAS dianggap menyebarkan ajaran yang ekstremis dan bersifat segregasi. Singapura juga menyampaikan kritik terhadap pernyataan UAS yang pernah membahas soal bom bunuh diri dalam ceramahnya.
"Somad dikenal menyebarkan ajaran ekstremis dan segregasi, yang tidak dapat diterima di masyarakat multi-ras dan multi-agama Singapura," mengutip situs resmi Kemendagri Singapura.
Langkah Singapura itu mendapat kecaman dari berbagai pihak termasuk pengurus MUI.
(dmi/kid)