Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari menyebut Menteri Dalam Negeri (Mendagri) kebiasaan mengingkari putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Kritik ini terkait penunjukan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah Sulawesi Tengah Brigjen TNI Andi Chandra As'aduddin sebagai penjabat (Pj) Bupati Seram Bagian Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Feri, penunjukan anggota TNI aktif ini bertentangan dengan Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021. Dalam putusan itu, MK membuat sejumlah pertimbangan soal penjabat kepala daerah dari TNI/Polri.
"Jadi Pak Mendagri punya kebiasaan mengingkari putusan MK, kurang lebih begitu. Dalam konteks Putusan Nomor 67 inikurang lebih seperti itu menurut saya," tutur Feri dalam diskusi virtual Polemik Pembentukan Daerah Otonomi Baru Papua di Youtube Public Virtue Research Institute, Rabu (25/5).
Feri mengatakan dalam kasus penunjukan Kepala BIN Sulawesi Tengah sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
"Tapi, ada kepala daerah yang TNI dan polisi aktif tetap dilantik, loh. Padahal sudah tegas-tegas di UU 34, di UU Nomor 2 (Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia) dilarang," protes Feri.
"Kalau sudah bicara pejabat daerah, tegas, terang benderang tidak boleh kemudian pejabat kepala daerah diisi oleh TNI dan kepolisian karena itu bukan tugas konstitusionalnya," imbuhnya.
Merujuk pada ketentuan Pasal 47 UU 34/2004, disebutkan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Sementara prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, SAR Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Selain penunjukan tentara/polisi aktif tersebut, Feri menyebut penerbitan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 68 Tahun 2021 juga mengingkari putusan MK.
Instruksi tersebut berkaitan dengan putusan MK mengenai UU Cipta Kerja. Menurut Feri, secara harfiah seakan-akan mematuhi MK namun isinya mengingkari putusan itu.
"Bunyinya seolah-olah mematuhi putusan MK tapi isinya mengingkari putusan MK," ujar Feri.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irawan, belum merespons CNNIndonesia.com ketika diminta tanggapan terkait hal ini.
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan penunjukan Kabinda Sulteng Brigjen TNI Andi Chandra As'aduddin sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat sudah sesuai putusan MK.
Ia mengatakan putusan MK menyebutkan anggota TNI/Polri yang tidak aktif pada institusi induknya tapi ditugaskan di institusi atau birokrasi lain, bisa menjadi penjabat kepala daerah.
Selain itu, Feri juga menyoroti kepatuhan penyelenggara negara terhadap putusan MK yang dinilai sangat lemah.
"Saya melihat dalam konteks kepatuhan kepada putusan Mahkamah Konstitusi penyelenggara negara kita itu lemah sekali," kata Feri.
Feri mengingatkan kepatuhan terhadap putusan MK merupakan kepastian. Sebab, gagasan peradilan konstitusional keputusan MK adalah penghormatan pada konstitusi.
Tanpa kepatuhan ini, menurut Feri, MK bisa disebut tidak bernyawa. Sebab, MK bukan lembaga yang memiliki eksekutorial sendiri.
MK berbeda dengan lembaga peradilan lain seperti Pengadilan Negeri yang keputusannya bisa dieksekusi jaksa atau kepolisian.
"Tanpa itu (kepatuhan penyelenggara negara) putusan MK bisa dikatakan tidak ada nyawanya," kata Feri.
Feri mengatakan MK tidak memiliki lembaga eksekutorial karena gagasannya dipercaya seluruh penyelenggara negara yang diyakini bisa menghormati putusan peradilan tertinggi itu.
(iam/pmg)