Kepala Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) DKI Jakarta Dede Sukarjo menyampaikan sejumlah catatan atas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun anggaran 2021 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Menurut Dede, catatan tersebut harus disampaikan meski BPK memberi opini wajar tanpa pengecualian (WTP) kepada DKI Jakarta untuk yang kelima kalinya. Menurut dia, catatan ini untuk meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan dan tanggung jawab.
"Perlu kami sampaikan pula beberapa permasalahan yang harus mendapatkan perhatian Pemprov DKI Jakarta, sehingga permasalahan tersebut tidak terulang kembali," ujar Dede dalam rapat paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (31/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, kata Dede, BPK menekankan pentingnya peningkatan monitoring dan pengendalian pengelolaan rekening kas pada organisasi perangkat daerah dan Bank DKI Jakarta. Hal ini agar tidak terjadi permasalahan penggunaan rekening kas dan rekening penampungan yang tidak memiliki dasar hukum dan tanpa melalui persetujuan BPKD.
Kemudian, yang kedua, pada sisi pendapatan, BPK juga masih menemukan kelemahan proses pendataan, penetapan, dan pemungutan pajak daerah. Menurut dia, hal ini berimbas pada kekurangan pendapatan pajak daerah
"Antara lain terdapat 303 wajib pajak BPHTB yang telah selesai melakukan balik nama sertifikat kepemilikan tanah atau bangunan namun BPHTB-nya kurang ditetapkan sebesar Rp141,63 miliar," ungkap Dede.
"Hal tersebut terjadi karena pengesahan atau validasi bukti pembayaran BPHTB dilakukan sebelum proses verifikasi dan validasi perhitungan ketetapan BPHTB," kata dia menambahkan.
Kemudian, yang ketiga, dari sisi belanja BPK juga menemukan sejumlah permasalahan, di antaranya kelebihan pembayaran gaji tunjangan daerah dan tambahan penghasilan pegawai (TPP) sebesar Rp4,17 miliar, kemudian kekurangan pemungutan dan penyetoran BPJS kesehatan dan Ketenagakerjaan sebesar Rp13,53 miliar.
Selanjutnya, BPK juga menemukan kelebihan pembayaran belanja barang dan jasa sebesar Rp3,13 miliar, dan kelebihan pembayaran atas pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kontrak sebesar Rp3,52 miliar.
Kemudian, dalam hal pengelolaan aset, BPK juga menemukan kekurangan pemenuhan kewajiban koefisien lantai bangunan (KLB) sebesar Rp2,17 miliar. Berikutnya, pencatatan aset tetap ganda atau aset tetap belum ditetapkan statusnya serta 3.110 bidang tanah yang belum bersertifikat.
"Serta penempatan aset tetap oleh pihak ketiga tidak didukung dengan perjanjian kerjasama," paparnya.
Dalam kesempatan itu, BPK turut menyerahkan laporan hasil pemeriksaan kinerja upaya penanggulangan kemiskinan tahun anggaran 2021 atas efektivitas pengelolaan program Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU).
Dede mengatakan, dari temuan BPK, ada sejumlah hal yang harus diperbaiki terkait program ini di masa mendatang.
Pertama, soal validitas data yang digunakan sebagai perumusan kebijakan dan pelaksanaan kedua program belum akurat, sehingga pemberian bantuan sosial KJP plus dan KJMU belum sepenuhnya tepat sasaran, tepat waktu, dan tepat jumlah.
"Khusus program KJP plus dan KJMU BPK menemukan permasalahan gagal salur dan gagal distribusi dalam hal ini buku tabungan dan kartu ATM masih tersimpan di Bank DKI," ungkap Dede.
Menurutnya, dari temuan BPK, jumlah dana KJP plus dan KJMU di rekening penampungan Bank DKI tahun 2013-2021 per 28 Februari 2022 sebesar Rp82,97 miliar dan yang mengendap di rekening penerima akibat gagal distribusi sebesar Rp112,29 miliar.
"Untuk itu BPK merekomendasikan agar dana KJP plus dan KJMU yang masih ada di rekening tersebut disetor kembali ke kas daerah, sehingga dapat dimanfaatkan untuk pelaksanaan program berikutnya," tutur dia.
Sebelumnya, Provinsi DKI Jakarta kembali mendapatkan opini WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Ini merupakan kelima kalinya secara berturut-turut sejak 2017 hingga 2021 DKI mendapatkan opini WTP dari BPK.
(dmi/pmg)