Sementara pengamat politik dari Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menilai Gibran tidak memiliki kapasitas sebagai pemimpin.
Menurut dia, selama menjabat sebagai Wali Kota Solo, Gibran tak memiliki prestasi yang menonjol.
"Apa yang dilakukan di Solo ya, sebatas rutinitas yang tidak menghasilkan prestasi yang monumental," kata Jamiluddin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jamiluddin menilai hal ini berbeda dengan Jokowi saat menjabat sebagai Wali Kota Solo. Ia berpendapat Jokowi memiliki kemampuan mendekatkan diri dengan masyarakat Solo.
Selain itu Jokowi mampu melakukan perubahan-perubahan tanpa menimbulkan konflik di akar rumput.
"Hal itu tidak terlihat pada Gibran selama menjadi wali kota. Maksudnya, apa yang dilakukan Jokowi tak tampak baik dilakukan oleh Gibran," ujar Jamiluddin.
"Saya melihat prestasi mereka jauh berbeda, karena saya ikuti selama beliau jadi wali kota saya melihat tidak ada hal-hal yang menonjol," imbuhnya.
Karena itu, dia khawatir jika Gibran dipaksakan maju sebagai cagub malah akan merugikan masyarakat. Jamiluddin mengatakan Gibran belum layak untuk memimpin di tingkat yang lebih tinggi.
"Karena kepemimpinannya tidak akan membawa kemaslatan atau kemajuan pada masyarakat yang dipimpinnya. Kapasitas dia sangat diragukan untuk saat ini," ucapnya.
Jamiluddin menegaskan tingginya popularitas tak cukup untuk menjadi seorang pemimpin. Hal itu harus diiringi dengan kemampuan diri yang baik.
Pengamat politik Universitas Andalas Asrinaldi berpendapat serupa. Ia menilai prestasi Gibran jauh berbeda jika dibandingkan dengan Jokowi yang sempat menjabat sebagai Wali Kota Solo selama dua periode.
"Saya pikir masih jauh dengan prestasi bapaknya dulu. Jokowi sampai dua periode pula. Tentu masih jauh apa yang sudah dicapai Pak Jokowi sewaktu jadi Wali Kota Solo di bandingkan dengan Gibran," ujar Asrinaldi.
Ia mengatakan, berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), prestasi Gibran di Kota Solo masih terbilang sedikit.
Namun, Asrinaldi menilai, Gibran masih cukup potensial maju sebagai cagub di Jawa Tengah jika dibandingkan di DKI Jakarta.
"Basis dia itu kultural-nya ada di Solo. Sementara DKI Jakarta itu kan sangat prural sekali kekuatan Islam, kekuatan nasionalis, religius juga bersaing. Apalagi Gibran baru menjadi tokoh di Solo. Barangkali elektabilitas lebih tinggi di Jawa Tengah ketimbang DKI Jakarta," katanya.
(lna/tsa)