Pemerintah Tak Mau Malu Lagi di RKUHP Seperti Omnibus Law Ciptaker
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej tak mau RKUHP menjadi seperti Omnibus Law UU Cipta Kerja yang mengandung banyak kecacatan.
Atas dasar itu, pemerintah kini lebih jeli dalam merumuskan RKUHP sebelum dibawa ke DPR untuk dibahas. Saat ini draf RKUHP pun belum bisa diakses ke publik.
"Sampai hari ini tim pemerintah masih membaca ulang, kita tidak mau apa yang pernah terjadi dalam UU Ciptaker terulang," kata Eddy dalam 'Diskusi RUU KUHP Direktorat Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM' di Jakarta, Kamis (23/6).
"Malu ini ada puluhan guru besar hukum pidana kemudian tidak membaca teliti. Jadi, kita baca teliti betul, kita serahkan ke DPR, baru kita buka ke publik," tambahnya.
Eddy menjelaskan bahwa pemerintah bukan tidak mau membuka RKUHP kepada publik. Saat ini, RKUHP memang masih diteliti oleh pemerintah sebelum diberikan ke DPR.
Jika sudah diberikan ke DPR, publik baru bisa mengakses RKUHP. Eddy tidak mau melanggar aturan yang ada mengenai hal itu.
"Kita tahu proses, tahu hukum, sebelum naskah itu diserahkan ke DPR kita tidak akan membuka ke publik. Begitu diserahkan ke DPR, baru kita buka ke publik," ujar Eddy.
Dia lalu menjelaskan soal pasal kumpul kebo atau kohabitasi yang masih ada di RKUHP. Dia mengatakan bahwa membuat hukum pidana dalam masyarakat yang multietnis, multireligi, dan multikultural bukan merupakan pekerjaan yang mudah.
Di satu sisi, ada yang setuju. Di sisi yang lain, ada yang tidak setuju. Eddy mengatakan pemerintah berupaya mengakomodasi semua pihak.
"Ada yang minta itu [kohabitasi] dihapus, kenapa harus negara [yang] mengatur. Tapi, di tempat lain, 'kok itu delik aduan, ini kan sudah merusak tatanan masyarakat, siapa pun bisa melapor'. Kalau kita ikuti yang hapus [Pasal] kohabitasi, masyarakat lain akan protes. Begitu pun sebaliknya," ucap Eddy.
Sebelumnya, Eddy juga mengatakan RKUHP masih belum diberikan pemerintah ke DPR lantaran masih banyak salah ketik atau tipo.
Menurut Eddy, salah ketik atau tipo yang masih ada tergolong vital karena mempengaruhi makna dari pasal-pasal terkait.
"Mengapa kita belum serahkan? Itu masih banyak tipo. Kita [masih] baca," ungkap Eddy di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (22/6).
(bmw/ryn/bmw/bmw)