Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendorong dan berharap norma penyiksaan dimasukkan ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
"Pembuat undang-undang diharapkan memasukkan norma penyiksaan ke dalam RKUHP," kata Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution, seperti dikutip dari Antara, Senin (27/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihaknya mendorong hal tersebut guna menghentikan praktik-praktik penganiayaan yang dilakukan oleh oknum penyelenggara negara, aparatur negara dan pejabat publik. Selain itu, pihaknya mendorong negara untuk meratifikasi konvensi protokol opsional konvensi dunia melawan penyiksaan (optional protocol to the convention against torture/OPCAT) merupakan legasi yang bagus.
"Kalau ini terjadi, sungguh legasi yang baik," kata dia.
Selain itu, LPSK juga mendorong aparat penegak hukum agar mengintensifkan koordinasi untuk menyamakan perspektif dan paradigma bahwa tindak pidana penyiksaan berbeda dengan kekerasan.
Sosialisasi dan edukasi juga harus terus dilakukan kepada masyarakat agar mereka berani melapor apabila menjadi korban atau sebagai saksi kasus penyiksaan.
"Siapa pun yang berani melapor, laporannya akan diproses secara transparan dan berkeadilan," ujarnya.
Dorongan tersebut disampaikan LPSK karena hingga kini masih banyak dijumpai paradigma aparat penegak hukum yang berusaha mengejar pengakuan tersangka semata sehingga mengedepankan kekerasan.
"Karena miskin metodologi, kadang mengedepankan kekerasan. Padahal, dalam paradigma baru hukum pidana, pengakuan itu bukan segala-galanya," jelas dia.
Tidak hanya itu, Nasution mengatakan juga masih ada aparat penegak hukum yang menganggap tersangka/terpidana disiksa adalah hal yang wajar karena menganggap mereka orang jahat.
"Ini paradigma keliru. Kalaupun mereka salah, mereka sedang mempertanggungjawabkannya secara hukum," tegas dia.
Maneger mengatakan LPSK meyakini praktik penyiksaan yang terungkap di Indonesia masih sebatas fenomena 'gunung es' atau yang terlihat baru bagian kecilnya karena diduga banyak kasus yang belum terbongkar.
"Bisa jadi, peristiwa sesungguhnya lebih besar dari itu. Sebab, tidak semua masyarakat yang menjadi korban atau saksi punya keberanian untuk melapor," kata dia.
Berdasarkan data yang masuk ke LPSK, sedikitnya 13 kasus pada 2020, 28 kasus pada 2021 dan 13 kasus periode Januari hingga Mei 2022. Kendati demikian, Nasution yakin data itu belum tentu menggambarkan peristiwa sesungguhnya.
"Bisa jadi, peristiwa sesungguhnya lebih besar dari itu," kata dia.
Adapun tahapan penyiksaan yang masuk ke LPSK, kata Nasution, yang tertinggi pada tahap penangkapan. Kedua, ketika ada penyelidikan, ketiga, di luar proses hukum dan terakhir dalam masa tahanan.
Terkait pelaku dari penyiksaan tersebut ialah penyelenggara negara, aparatur negara dan pejabat publik.
Selain itu, LPSK juga menemukan pola penyiksaan yang dilakukan secara kolaboratif antara masyarakat sipil dengan penyelenggara negara. Salah satunya yang terjadi di Sumba, Nusa Tenggara Timur.
"Yang menghasut oknum tentara melakukan kekerasan itu anggota DPRD," kata dia.
Fenomena demikian hingga kini masih saja terjadi dan tidak lepas dari situasi di Indonesia. Selain itu, persoalan substansi hukumnya juga belum mengatur soal mekanisme pencegahan penyiksaan dalam undang-undang induk yakni KUHP. Sebab, dalam KUHP yang diatur adalah norma kekerasan bukan penyiksaan.
Di samping itu, meskipun Indonesia sudah meratifikasi Convention Against Turture (CAT) pada 1998, namun hingga kini belum meratifikasi protokol opsional konvensi dunia melawan penyiksaan atau Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT).
Tidak hanya itu, LPSK memandang belum semua aparat penegak hukum memiliki perspektif dan paradigma yang sama soal penyiksaan. Masih ada aparat hukum yang menyamakan kejahatan penyiksaan dengan kekerasan. Padahal, filosofi dan karakter keduanya berbeda.
"Penyiksaan itu kekerasan yang dilakukan aparat negara (di rumah negara atau tempat-tempat yang sejatinya negara menjamin keamanan warganya) untuk menggali informasi," jelas dia.