Wamenkumham Jawab Kritik soal RKUHP: Kita Tidak Buta dan Tuli

CNN Indonesia
Kamis, 23 Jun 2022 15:18 WIB
Wamenkumham mengingatkan Indonesia sebagai negara multietnis dan multireligi. Pemerintah mencari titik tengah dalam merumuskan RKUHP.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Syarif Hiariej di Kemenkumham, Jakarta, Jumat (9/4). (Foto: CNN Indonesia/ Feri Agus)
Jakarta, CNN Indonesia --

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan pemerintah tidak buta dan tuli dalam mengerjakan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

Hal itu disampaikan Eddy, sapaan akrabnya, dalam agenda 'Diskusi RUU KUHP Direktorat Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM' di Jakarta, Kamis (23/6).

"Kita mendengar betul, kita tidak tuli dan tidak buta," ujar Eddy saat memberikan paparan, Kamis (23/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Eddy menjelaskan pemerintah telah mengundang dan mendengar masukan dari berbagai elemen masyarakat dalam penyusunan RKUHP.

Dua pasal yang disepakati di awal dan akhirnya dihapus yakni Pasal Advokat Curang dan Pasal Praktik Dokter Gigi. Menurut dia hal itu menunjukkan bahwa pemerintah mendengarkan masukan publik.

Diskusi juga pernah dilakukan dengan Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS Zainal Bagir untuk mengkritisi Pasal Penodaan Agama. Selanjutnya, klaim Eddy, dilakukan perubahan yang signifikan.

Contoh lain, pemerintah berdiskusi dengan Institute for Criminal Justice Reform/ICJR yang pada akhirnya merevisi Pasal Aborsi.

"Itu sekali lagi kita mendengar, kita tidak buta dan tuli. Tetapi, lalu kemudian jangan diartikan bahwa apa yang tidak kita turuti itu berarti kita tidak mendengar," imbuhnya.

Ia mengatakan masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multietnis, multireligi, dan multikultural. Hal itu membuat pembahasan RKUHP memerlukan waktu yang panjang dan tak bisa semua permintaan masyarakat diakomodasi.

Dalam hal ini ia mencontohkan mengenai Pasal kohabitasi/perihal tinggal serumah tanpa ikatan perkawinan.

"Ada yang minta itu [kohabitasi] dihapus, kenapa harus negara [yang] mengatur. Tapi, di tempat lain, 'kok itu delik aduan, ini kan sudah merusak tatanan masyarakat, siapa pun bisa melapor'. Kalau kita ikuti yang hapus [Pasal] kohabitasi, masyarakat lain akan protes. Begitu pun sebaliknya," ucap Eddy.

"Oleh karena itu, kita mencari titik-titik tertentu untuk kemudian tolak tarik itu, ya, paling tidak dia berada di tengah," sambungnya.

Terkait draf terbaru RKUHP yang belum bisa diakses publik, Eddy menerangkan bahwa itu bukan berarti pemerintah tertutup. Ia menyatakan draf akan dibuka ke publik jika sudah diserahkan ke DPR untuk dilakukan pembahasan.

"Bukannya kami tidak mau membuka draf tersebut kepada publik, tapi ini ada proses yang harus dihormati bersama. Saya waktu memimpin tim pemerintah dalam RUU TPKS [Tindak Pidana Kekerasan Seksual], itu tiap malam saya diteror untuk meminta draf, tapi kita tahu proses, tahu hukum, sebelum naskah itu diserahkan ke DPR kita tidak akan membuka ke publik," tutur dia.

Eddy menjelaskan draf RKUHP saat ini masih dalam tahap pembacaan ulang. Ia tidak ingin preseden buruk Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang banyak 'cacat' terulang kembali.

"Sampai hari ini tim pemerintah masih membaca ulang, kita tidak mau apa yang pernah terjadi dalam UU Ciptaker terulang, malu ini ada puluhan guru besar hukum pidana kemudian tidak membaca teliti. Jadi, kita baca teliti betul, kita serahkan ke DPR, baru kita buka ke publik," tandasnya.

(ryn/wis)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER