Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Anis Matta berencana menggugat kembali UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, putusan MK soal gugatan UU Pemilu pada Kamis (7/7) prematur.
"Kami sedang mempelajari kemungkinan mengajukan gugatan kembali," kata Anis Jumat (8/7).
Diketahui, Partai Gelora menguji Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu terkait keserentakan pemilu. Namun, gugatan itu ditolak MK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anis menghormati putusan MK itu, tetapi ia menilai putusan tersebut membingungkan dan prematur.
"Penolakan Mahkamah Konstitusi atas gugatan tersebut prematur dan membingungkan. Ini sangat merugikan kami sebagai partai politik dan rakyat sebagai pemilik suara," ucapnya.
Anis mengatakan Partai Gelora ingin memastikan presiden yang dicalonkan berdasarkan pada suara rakyat yang mewakili pikiran dan perasaan hari ini.
Dia menuturkan gugatan ini sekaligus memberi peluang bagi lahirnya pemimpin baru di tengah krisis berlarut saat ini.
"Gugatan ini juga bisa menjadi alternatif atas gugatan presidential threshold 0 persen," ujar dia.
Hal senada disampaikan Koordinator Kuasa Hukum Partai Gelora Said Salahudin. Said menilai gugatan Partai Gelora tidak dibantah oleh Mahkamah, tapi ditolak dalam putusannya.
Menurutnya, alasan ditolak menurut Mahkamah, karena belum terpenuhi syarat keadaan mendesak lebih bersifat politik, bukan alasan hukum.
"Legal standing kami diterima. Pokok permohonan dinyatakan jelas (tidak kabur). Tidak 'nebis in idem'. Dalil dan argumentasi dalam permohonan kami tidak ada yang dibantah. Tetapi MK menyatakan permohonan ditolak," kata Said.
Diberitakan, MK menolak gugatan yang dimohonkan oleh Partai Gelora soal pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam gugatan Nomor: 35/PUU-XX/2022 yang diajukan Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta dan Sekretaris Jenderal Mahfuz Sidik itu, Mahkamah menilai pokok permohonan yang diajukan Partai Gelora tidak beralasan menurut hukum.
Hakim Konstitusi memutuskan bahwa frasa serentak dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat 1 UU 7/2017 tetap dinyatakan konstitusional.
"Belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk menggeser pendiriannya isu pokok yang berkaitan dengan frasa serentak sehingga norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 haruslah tetap dinyatakan konstitusional," ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Partai Gelora mengajukan gugatan karena menilai norma tersebut telah dimaknai secara sempit sebagai waktu pemungutan suara Pemilu yang harus dilaksanakan pada hari yang sama untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta memilih anggota DPRD.
Jika pada 2024 pemilihan anggota DPR dilaksanakan pada hari yang sama dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, maka konsekuensi hukum yang timbul adalah hasil perolehan suara atau kursi DPR yang digunakan sebagai syarat bagi partai politik untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di Pemilu 2024 akan menggunakan atau didasari pada perolehan suara atau kursi DPR yang diperoleh partai politik dari hasil Pemilu terakhir atau 2019.
Sementara, Partai Gelora pada penyelenggaraan Pemilu 2019 belum terbentuk partai politik dan mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum publik. Keadaan itu membuat Partai Gelora tidak bisa mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden untuk Pemilu 2024.
(rzr/tsa)