Komnas Perempuan, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), serta LBH Apik menerima banyak aduan terkait kekerasan berbasis gender online (KBGO) di media sosial.
Dalam acara yang digelar INFID bertajuk Eskalasi Pelanggaran HAM Dampak dari Digitalisasi Demokrasi, laporan yang terungkap lebih dari 2.000 dalam setahun terakhir.
"Komnas Perempuan angka terakhir di 2021 menunjukkan ada 1.721 kasus, lalu Safenet 677 kasus, dan LBH Apik 489 kasus," Direktur Eksekutif Safenet Damar Juniarto, Senin (11/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan laporan yang diterima Safenet, dari 677 kasys, sebanyak 508 di antaranya adalah kasus penyebaran konten intim nonkonsensual. Menurutnya, korban dari kasus itu mayoritas perempuan dewasa, namun juga terjadi pada laki-laki.
"Yang menarik adalah semua mengonfirmasi bahwa lonjakan ini terjadi dalam kurun waktu pandemi," kata Damar.
Damar menjelaskan bahwa relasi atau hubungan adalah motif yang paling banyak dilaporkan dalam kasus penyebaran konten intim nonkonsensual.
"Selebihnya adalah kita bisa lihat terjadi sekstorsi, yaitu pemerasan dengan gambar-gambar intim. Itu juga cukup marak meski tidak dominan," kata Damar.
Dia juga menyampaikan Safenet telah menerima sebanyak 324 laporan kasus kekerasan gender berbasis online sejak awal 2022 hingga Mei. Menurutnya, kasus berpotensi terus bertambah.
"Kita akan berhadapan dengan ledakan, dalam arti, kekerasan yang kian jamak dan bisa dikatakan sebagai normal baru pada saat orang gunakan internet di tengah situasi pandemi. Ini perlu diatasi secara baik dan melibatkan banyak pihak," ujarnya.
Di kesempatan yang sama, Ketua Komnas Perempuan Andi Yetriyani mengatakan kasus kekerasan gender berbasis online perlu dihadapi dengan regulasi yang memadai.
Dia mengamini UU TPKS sudah disahkan. Akan tetapi, Andi juga berharap regulasi baru untuk mengatasi kekerasan gender berbasis online juga tertuang dalam RUU KUHP serta RUU Perlindungan Data Pribadi yang saat ini masih dibahas pemerintah dan DPR.
"Sambil menunggu RKHUP, revisi UU ITE dan RUU perlindungan data pribadi, mari kita tingkatkan pengetahuan mengenai literasi digital, kita kawal penanganan pengimplementasian UU TPKS dan mari kita tata ulang dan mulai memikirkan agar tata kelola digital bisa lebih banyak diakses oleh masyarakat," kata Andi.