Mematahkan Bingung Hakim MK Lewat Logika Baru PKS Gugat UU Pemilu
Pernyataan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Enny Nurbaningsih menuai kontroversi lantaran mengaku bingung dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengajukan gugatan soal ambang batas pencalonan presiden (capres) atau presidential threshold (PT) 20 persen.
Enny bingung karena PKS menggugat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum padahal ikut proses pembuat UU Pemilu tersebut. Di sisi lain, Enny mengabaikan argumentasi PKS yang menegaskan saat proses pembuatan UU Nomor 7 tahun 2017 kala itu, mereka melakukan aksi walk out.
Sikap Enny ini yang dinilai sejumlah kalangan memperlihatkan keengganan MK untuk menerima gugatan soal UU Pemilu. Pasalnya, PKS merupakan partai politik yang punya kedudukan hukum atau legal standing.
Sebelumnya, Hakim MK kerap dinilai mencari kesalahan penggugat UU Pemilu dengan mempersoalkan legal standing para pemohon uji materi ambang batas capres. Akhirnya gugatan yang diajukan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo hingga DPD RI yang diwakili La Nyalla Matilitti kandas berakhir penolakan.
Enny saat itu mempertanyakan apakah Gatot mengalami kerugian konstitusional karena aturan itu. Bahkan, Enny bertanya apakah Gatot pernah gagal mencalonkan diri sebagai presiden karena presidential threshold.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan bahwa MK kerap mencoba menghindarkan diri dari pembahasan sejumlah substansi yang diperdebatkan secara masif di tengah masyarakat.
Menurutnya, mempersoalkan legal standing pemohon uji materi merupakan salah satu cara MK menghindari pembahasan hal substansial di tengah masyarakat.
Dia berkata, cara lain yang digunakan MK untuk menghindarkan diri dari pembahasan hal substansial adalah menyatakan bahwa regulasi yang digugat merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka.
"MK dalam berbagai substansi yang diperdebatkan secara masif di publik mencoba menghindar bahas itu dalam dua hal. Satu, bicara soal open legal policy, jadi mereka tidak mau memutuskan karena alasan kebijakan hukum terbuka. Kedua, soal legal standing," kata Feri saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Kamis (28/7).
"Padahal, dalam kasus lain, MK menjadi terbuka untuk menerima legal standing. Misalnya, ada lembaga bukan badan hukum, diterima legal standing-nya. Dalam isu berat seperti ini seringkali itu menjadi alasan menghindar," tambahnya.
Ia menyatakan, MK seharusnya menerima gugatan PKS terkait ambang batas pencalonan presiden. Menurut Feri, PKS merupakan pihak yang mengalami kerugian langsung dari penerapan Pasal 222 UU Pemilu. Feri pun berkata, PKS seharusnya meyakinkan MK terkait kedudukan hukum sebagai pemohon uji materi.
"Bagi PKS, dijawab saja bahwa mereka adalah peserta pemilu, partai yang memiliki suara sah nasional di Pemilu 2019 lalu, punya kursi di parlemen, dan mereka punya legal standing karena mereka parpol yang berpotensi mengajukan presiden di Pemilu 2024," ucapnya.
Di sisi lain, Feri mengungkapkan bahwa MK biasanya tidak menerima permohonan dari parpol yang merupakan anggota parlemen. Menurutnya, langkah itu dilakukan karena MK ingin pembahasan regulasi terkait dilakukan di parlemen saja.
Namun, menurutnya, logika lama MK itu seharusnya tidak digunakan lagi karena kerugian yang dialami oleh PKS akibat ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen merupakan hal nyata.
"Bagi saya, logika MK lama itu tidak harus dipakai lagi karena kerugian PKS itu konkret," katanya.
Berlanjut ke halaman berikutnya...