Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat yang baru diteken Presiden Joko Widodo pada 25 Juli 2022 dinilai mengabaikan keberadaan masyarakat serta adat dan budaya Kepulauan Mentawai.
Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan Pasal 5 huruf c UU Pronvisi Sumbar terkesan mengabaikan karakteristik selain adat dan budaya Minangkabau.
"Sayangnya di Pasal 5 itu tidak menyebutkan karakteristik Sumbar selain Minangkabau, di mana ini merupakan pengabaian kepada suku dan etnis lainnya di Sumbar," kata Feri saat dihubungi, Selasa (2/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Adapun Pasal 5 Huruf c berbunyi, "Provinsi Sumatera Barat memiliki karakteristik yaitu adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara', syara' basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat".
Menurut Feri, UU Nomor 17 Tahun 2022 itu belum secara utuh mengakomodasi beragam adat dan kebudayaan di Sumbar.
Padahal, dengan menyebut Mentawai tidak akan mendegradasi falsafah hidup masyarakat Minangkabau yaitu adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABS-SBK).
Sementara itu, dosen Sosiologi Universitas Negeri Padang (UNP) Eka Vidya Putra berpendapat kesan pengucilan terhadap adat dan budaya Kepulauan Mentawai berakar dari adanya diskriminasi pada daerah pemilihan (dapil) Mentawai di pemilu.
Ia mengatakan dalam pemilihan tingkat DPRD, Kepulauan Mentawai masuk ke dalam Dapil Sumbar VIII, yaitu untuk wilayah Pesisir Selatan dan Mentawai. Sementara untuk pemilihan tingkat DPR RI, Kepulauan Mentawai masuk ke dalam Dapil Sumbar I yang di antaranya terdiri dari Tanah Datar, Kabupaten Pesisir Selatan, Kepulauan Mentawai, Kota Padang, dan Kota Solok.
Menurutnya, perlu ada dapil khusus untuk Kepulauan Mentawai, sehingga suara masyarakat terwakili di parlemen.
Eka mengatakan representasi masyarakat Mentawai sangat penting, terutama berkaitan dengan pembentukan peraturan atau undang-undang.
"Proses hearing (dengar pendapat) itu tidak mungkin dilakukan karena sulitnya akses menuju ke Mentawai, sehingga perlu dibentuk dapil khusus Mentawai. Dan semoga elite politik tidak lagi menyampaikan aspirasi berdasarkan opini mereka saja seperti pada saat sekarang ini," katanya.
Sebelumnya, UU Sumbar ditolak oleh Koalisi Masyarakat Mentawai yang diberi nama Aliansi Mentawai Bersatu.
Koalisi tersebut terdiri dari berbagai komunitas, seperti Forum Masyarakat Mentawai, Mahasiswa Mentawai dan lain sebagainya. Mereka menilai UU Sumbar mengkerdilkan budaya Mentawai.
Koalisi menilai UU tentang Provinsi Sumbar bermasalah karena tidak memuat pasal mengenai kebudayaan asli Minangkabau secara keseluruhan. UU Sumbar disebut hanya menjelaskan satu kebudayaan mayoritas yaitu budaya Minangkabau. Padahal, Sumber punya 19 kabupaten/kota dan kebudayaan yang beragam.
"Meskipun budaya kami adalah budaya minoritas, tapi kami bagian dari Sumbar dan hal itu diakui secara geografis dan administrasi daerah," kata Ketua Aliansi Mentawai Bersatu, Yosafat Saumanuk kepada CNNIndonesia.com dalam konferensi pers di Padang, Senin (1/8).
(nya/tsa)