Bambang mengingatkan profesionalisme setiap anggota Polri harusnya tegak lurus pada aturan hukum, bukan pada arahan atasan.
Selain itu, Bambang menyebut pimpinan Polri seharusnya menanamkan kepada setiap anggota agar problem personal tidak ditarik menjadi problem institusi.
"Jangan sampai hal-hal yang sifatnya personal dibawa ke institusi, dan institusi kemudian membela, ini kan jadi konyol. Akhirnya jadi ribet, yang dipertaruhkan wibawa institusi," kata Bambang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Bambang menyatakan Listyo harus membuka kasus itu seterang-terangnya, apalagi setelah peneratapan tersangka Bharada E dengan jeratan Pasal 338 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 56 KUHP.
"Ada Jo pasal 55 dan 56. Bukan pelaku tunggal dia. Dengan menjerat pasal itu polisi sudah yakin ada pelaku lain," kata Bambang.
Terpisah, Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda mengatakan pasal 55 dan 56 KUHP yang dijerat kepada Bharada E mengharuskan ada tersangka lain dalam kasus itu.
"Pasal itu artinya orang itu tidak bekerja sendirian. Ada yang ikut serta, ada yang bantu. Tidak mungkin delik itu, tidak mungkin Yosua meninggal hanya peran satu orang kalau konstruksi hukum seperti itu," kata Chairul.
Chairul mengatakan pernyataan Listyo soal tidak profesional dan menghambat penyidikan memiliki konsekuensi yang berbeda.
Jika hanya terbukti tidak profesional, menurutnya anggota Polri dalam kasus itu hanya akan diproses terkait pelanggaran kode etik.
"Apakah kesalahan profesional, misal tidak teliti, terlalu cepat ambil kesimpulan...misalnya di awal sudah menyimpulkan adanya pembelaan diri. Itu bisa dianggap tidak profesional, karena belum semua data terkumpul. Kalau seperti itu konsekuensi hanya dari segi profesi," katanya.
Namun, kata Chairul, jika anggota Polri itu menghilangkan barang bukti sehingga menghambat penyidikan, bisa diproses pidana lantaran melakukan tindakan obstruction of justice.
"Soal menghilangkan barang bukti itu ada di pasal 221 KUHP. Misal CCTV dirusak, misalnya, nah itu lain lagi cerita, masuk kategori obstruction of justice," ucap Chairul.
Lebih lanjut, Chairul mengatakan Listyo maupun tim khusus bentukannya perlu memilah-milah peran dari 25 orang yang telah diperiksa.
Menurutnya, harus dibedakan siapa pejabat pengambil keputusan dan siapa anggota yang menjalankan perintah.
"Dari 25 orang yang diperiksa, itu kan mereka sistem komando ya, jadi mesti dipilah, mana yang pengambil keputusan, mana yang sebenarnya cuma menjalankan perintah. Jangan pukul rata 25 orang itu salah, enggak juga menurut saya," katanya.
(yoa/fra)