Tukar Guling Manhattan, Traktat Breda dan Sepah Tersisa di Pulau Rhun
Belasan perahu parkir saat jutaan bulir hujan bertabur di Pelabuhan Lamani, Neira. Para nelayan bermalas-malasan, mama-mama di pasar bergosip karena sedikit orang belanja. Dari sebuah warung makan, ada nelayan marah-marah. Sulit dapat Pertalite, kata dia.
Sementara itu, Rusli Abdul (40 tahun) sibuk memeriksa mesin kapalnya. Dua mesin di ujung perahu beratap kayu. Warga Banda Neira menyebut 'motor' sebagai transportasi antarpulau.
"Kita bisa saja sampai Pulau Rhun," ujar Rusli, nampak meyakinkan. Di tembok-tembok dermaga, BMKG menyebar imbauan: Jangan melaut, gelombang tinggi mencapai 4 meter.
Mantri Uci--sapaannya-- cuma tersenyum. Kemarin, kapal rombongan camat terbelah menghantam gelombang. Untung semua selamat. Uci tak acuh sambil merapikan beberapa pelampung.
Lihat Juga : |
Musim angin timur kala itu belum reda, atau mungkin berada di puncaknya. Laut Banda masih jadi panggung angkara murka. Baru reda kalau ada nelayan nekat yang hilang, begitulah warga Banda memprediksi musim ini pungkas.
"Kalau hujan seperti ini, angin jadi tidak terlalu kencang," kata Uci lulusan D3 perawat itu. Uci kembali angkat jala lantaran gaji di RSUD sebagai honorer mampet delapan bulan.
Apa yang membuat Rhun begitu spesial? Bukankah pulau itu hanya seluas 1x4 kilometer persegi dengan sedikit penghuni? Apa keistimewaan Rhun yang kini bangunan SMA pun belum punya. Listrik di sana cuma menyala enam jam dalam sehari?
Barter Rhun dan Manhattan
Belanda, Portugis, hingga Inggris memanggil daerah itu Puloroon, atau Run. Daerah dengan tumbuhan Pala yang disebut tersubur se-Banda. Istilahnya, meski bibit kangkung ditanam, tetap pohon pala yang bakal tumbuh.
Rhun ibarat trofi kecil bertabur intan keagungan rempah. Inggris dan Belanda adu intrik mendapatkan Rhun, perang berkecamuk tercatat beberapa kali sepanjang abad ke-17.
Penguasaan Banda oleh VOC sejak 1621 dianggap belum paripurna ketika Rhun belum dianeksasi. Rhun masih di bawah kendali Inggris sejak 1601 tujuh kapal di bawah Kapten James Lancaster meneken perjanjian dengan warga di Rhun untuk melepas Pala dengan harga spesial.
Inggris makin kuat di pulau itu kala warga Banda memohon perlindungan akibat aksi brutal VOC di Neira dan Lonthoir pada 1621. Di Rhun, Inggris membangun benteng pertahanan: Fort Swan.
Lihat Juga : |
Misalnya catatan pada 1616, atas perintah kongsi dagang di Inggris (EIC), Nathaniel Courthope mengarungi samudera dengan membawa dua kapal andalan, Swan dan Defence untuk menghadapi bala tentara VOC. Perebutan Rhun oleh Belanda dan Inggris silih datang pergi selama lebih dari lima dekade.
Perang antara Inggris dan Belanda memasuki puncak pada 1665-1667. Selain Rhun, dua bangsa Eropa itu juga berebut kontrol terhadap jalur rempah di Hindia Barat dan Hindia Timur. Hingga akhirnya perebutan Rhun tuntas ketika dua negara berunding dalam pertemuan yang menghasilkan Traktat Breda pada 31 Juli 1667.
Dalam perjanjian itu, Inggris sepakat menyerahkan Pulau Rhun kepada Belanda. Di sisi lain Belanda menyerahkan Nieuw Amsterdam (kini Manhattan) kepada Inggris. Wilayah yang diserahkan Belanda demi Rhun mencakup keseluruhan beberapa daerah bagian yang kini dikenal dengan Delaware, New Jersey, New York.
Simak video liputan tim CNN Indonesia di Banda Neira di bawah ini:
Rhun sekarang
400 tahun selepas perjanjian Breda, Manhattan kini bertabur gedung pencakar langit, menjadi kota metropolitan dan maju di Amerika. Sementara itu, Rhun, terbujur dekil tanpa perhatian.
"Kami tak pernah bermimpi gedung-gedung mewah yang menantang langit seperti di Manhattan. Buat kami bantuan internet yang memadai saja sudah cukup. Setidaknya ini demi pendidikan anak-anak Rhun," ujar Asis Latoru, salah seorang guru SMP di Pulau Rhun melalui sambungan telepon.
Sekolah yang diajar Asis tak lebih dari 50 anak. Selepas mengenyam pendidikan SMP, anak-anak Rhun putus sekolah, mengambil takdir membantu orang tua di kebun atau menemani sang ayah jadi nelayan. Belum ada tingkat pendidikan SMA di Rhun. Mereka yang lulus harus pergi menyeberang ke Neira atau Pulau Banda Besar. Baru tahun ini, kata dia, ada pendirian sekolah Madrasah Aliyah, setara SMA yang didirikan lembaga pendidikan Hatta-Sjahrir.
Lihat Juga : |
"Mereka (lulusan SMP) harus merantau keluar pulau. Tapi persoalannya, saat mereka merantau, sekolah mereka putus di tengah jalan. Mereka lebih asik bermain. Belakangan ini juga sudah mulai mabuk-mabukan sofi," ujar pegiat pendidikan di Neira, Miftah Sabban.
CNNIndonesia.com berulang kali harus mendapatkan percakapan yang jernih dengan Asis. Sinyal di Rhun, meskipun sebatas 3G, timbul tenggelam.
Tak cuma soal internet. Baru setahun ini, listrik menyala di Rhun juga tak lebih dari setengah hari. Akses listrik PLN yang didapat Rhun baru mengalir dari pukul 20.00 hingga pukul 02.00 dini hari. Selepas itu, Rhun kembali dikekap gelap.
"Rp50 ribu sebulan cukup untuk empat mata lampu dan satu televisi," ujar Asis.
Setahun sebelum itu, warga Rhun menikmati listrik hanya dari pukul 18.00 hingga 23.00. Melalui penyedia dari swasta, warga harus membayar Rp150 ribu hanya untuk empat mata lampu. Jika ingin menambah kulkas atau televisi, kata Asis, warga harus menambah iuran.
"Beginilah kondisi Rhun," ujar Asis.
Krisis air bersih, kata Asis, juga kerap mengintai warga Rhun kala masuk musim kering. Ada bendungan yang dibangun pemerintah, kata dia, namun belum dibangun salurannya belum teraliri untuk ke rumah warga.
"Mau bangun sumur tapi air kami payau. Air bersih harus kami cari ke pulau lain," ujarnya.
CNNIndonesia.com telah satu jam bertolak dari pelabuhan Neira. Angin begitu ganas, gelombang laut begitu mengerikan. Mesin kapal kami beberapa kali mati karena dicium air laut yang menanjak masuk perahu. Perjalanan dihentikan darurat. Kami merapat di Pulau Ay, pulau penghasil Pala yang kini nasibnya tak jauh berbeda dengan Rhun.
Pisang, singkong, dan hasil kebun di Ay menumpuk berkarung-karung di bibir dermaga Ay. Tak ada kapal dari Neira yang berkenan mengangkut karena cuaca buruk. Warga setempat melihat penuh keheranan: rombongan kapal yang beruntung tak jadi tumbal angkara murka Laut Banda.
"Nanti kalau kembali lagi ke Banda, wajib sudah ke Rhun," ujar Mantri Uci, nelayan asal Selamon yang tersohor itu.
(ain/ain)