Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan beberapa kali mengganti nama fasilitas umum dan fasilitas sosial di Ibu Kota. Teranyar, Anies mengganti jenama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) menjadi Rumah Sehat untuk Jakarta.
Anies menilai istilah rumah sehat lantaran selama ini rumah sakit memiliki orientasi kuratif dan rehabilitatif, sehingga orang datang ke RS karena sakit.
"Untuk sembuh itu harus sakit dulu, sehingga tempat ini menjadi tempat orang sakit," kata Anies beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum ini, Anies juga mengubah 22 nama jalan di sejumlah lokasi. Nama yang dipakai untuk jalan diambil dari tokoh-tokoh Betawi.
Jika dirunut ke belakang, ada lagi penggantian nama maupun istilah. Anies mengubah istilah Hari Ulang Tahun (HUT) Jakarta menjadi Jakarta Hajatan, kemudian ia juga mengganti program Ok Otrip menjadi Jak Lingko.
Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai kebijakan perubahan nama itu tak menyentuh masalah substansial yang ada di masyarakat.
"Bukan kebijakan substansial, bukan pada pokok persoalan," kata Trubus saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (8/8).
Untuk perubahan jenama rumah sehat, menurut Trubus, sebetulnya fungsi dan perannya sudah diemban oleh Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Malah, kata dia, permasalahan kurangnya Puskesmas di Jakarta tak disentuh oleh Anies.
"Rumah sehat itu kan sebenarnya puskesmas, justru di Jakarta ada ini kekurangan sekitar 16 puskesmas, tapi itu enggak dilakukan (penambahan)," jelas dia.
Trubus juga mengatakan bahwa saat ini permasalahan kemiskinan di Jakarta juga belum dibenahi oleh Anies. Ia menilai daripada Anies mengubah jenama rumah sakit menjadi rumah sehat, seharusnya Anies bisa memperbaiki layanan di RSUD yang ada di Jakarta.
"Ini bagaimana harusnya mereka dapat pelayanan gratis, tidak hanya ditopang BPJS, tapi dari Pemprov sendiri. itu misalnya," tutur Trubus.
Trubus juga melihat langkah Anies mengubah nama-nama itu sekadar untuk kepentingan pribadi. Dia melihat Anies beranggapan dirinya akan mengubah sejarah dengan perubahan nama-nama tersebut.
"Dia merasa pertama kali jadi gubernur, impiannya mengubah sejarah, cuma caranya yang kurang partisipatif, tidak melibatkan publik," jelasnya.
Trubus juga melihat bahwa kebijakan ganti nama ini justru menimbulkan masalah ketimbang menghadirkan solusi. Ia mencontohkan bagaimana masyarakat mengeluhkan kebijakan Anies mengganti nama 22 jalan di Jakarta.
Menurutnya tak sedikit warga yang merasa kesulitan setelah Anies mengganti 22 nama jalan itu. Pasalnya, masyarakat yang terdampak harus ikut mengubah data kependudukan mereka.
"Malah menimbulkan gaduh, mencari musuh. Seperti ubah nama jalan, oke lah difasilitasi untuk mengubah dokumen, tapi kan itu secara tidak langsung membuat masyarakat marah. Dalam hatinya jengkel, harus ubah dokumen dan lain-lain," kata Trubus.
Pengamat kebijakan publik Universitas Padjadjaran (Unpad) Yogi Suprayogi mengatakan bahwa sebetulnya tidak masalah apabila Anies mengubah-ubah nama. Namun demikian, sebelum itu harus ada uji publik.
"Uji publik itu memberikan kesesuaian antara prinsip nama dan penggunaannya dalam layanan publik," jelas Yogi.
Di sisi lain, sebuah kebijakan juga memerlukan dasar seperti naskah akademik. Dalam naskah akademik itu harus dijelaskan alasan pengubahan jenama rumah sakit menjadi rumah sehat.
Menurutnya dalam naskah akademik juga harus disertakan pendapat dari sejumlah ahli, sehingga sebuah kebijakan tersebut bisa diterapkan.
Yogi mengaku belum membaca naskah akademik dari kebijakan-kebijakan Anies tersebut. Ia juga tak mengetahui pasti apakah Anies melakukan uji publik sebelum menerbitkan kebijakan tersebut.
"Tapi kalau tidak ada naskah akademik, uji publiknya tidak ada, ini saya fikir ini kesewenang-wenangan kepala daerah untuk mengubah nama," kata Yogi.
Ia juga menyoroti bahwa hal ini bisa menimbulkan masalah di kemudian hari. Sebab, bisa saja nomenklatur di daerah dan Kementerian Dalam Negeri berbeda.
"Bayangkan, di sistem birokrasi kita kan rigid ya, misalnya di Kemendagri kan ada yang ngatur belanja daerah, misalnya rumah sakit ini diganti rumah sehat," ujar Yogi.
"Nomenklatur di provinsi rumah sehat, tapi nomenklatur di anggaran Kemendagri rumah sakit. ini gimana nih, bisa jadi temuan kan. Dari sistem administratifnya panjang tuh," imbuhnya menambahkan.
(dmi/ain)