Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengevaluasi kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada masa sidang kelima (MS V) tahun sidang 2021-2022. Secara kelembagaan terdapat enam poin yang disoroti.
Pertama, Formappi menyoroti Ketua DPR Puan Maharani yang sempat meluangkan waktu menjadi Juri Putri Indonesia 2022 dan menyaksikan ajang balap Formula E di tengah kinerja DPR yang tidak bagus.
"Fakta ini menunjukkan bahwa Ketua DPR tidak fokus dalam memperbaiki kinerja DPR yang terseok-seok. Performa DPR seharusnya menjadi perhatian utama Pimpinan DPR dari pada urusan lainnya," demikian dikutip dari laporan evaluasi, Sabtu (13/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, seringnya pimpinan dan anggota DPR melontarkan kritik dan komentar terhadap kinerja pemerintah melalui media. Meski tak sepenuhnya salah, namun tindakan itu dinilai tak efektif dan cenderung mubazir. Seharusnya kritik tersebut dituangkan dalam rapat DPR yang melibatkan pemerintah.
Lihat Juga : |
"Sehingga bisa membuahkan keputusan yang mengikat kedua belah pihak sebagaimana ketentuan Pasal 98 ayat (6) dan Pasal 231 ayat (3) UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3," demikian bunyi laporan tersebut.
Ketiga, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) perlu lebih proaktif dalam memproses penanganan kasus-kasus tindak asusila yang dilakukan oleh anggota DPR. Menurutnya, sikap proaktif dalam penanganan kasus asusila merupakan bentuk kepedulian MKD terhadap korban.
Dalam laporan evalusi itu dicontohkan, dalam satu kasus dugaan pelecehan yang diduga dilakukan salah seorang anggota DPR, MKD nampak ingin menghentikan proses penyelidikan hanya karena korban tak menghadiri pemanggilan untuk pemeriksaan. Keinginan MKD itu cenderung mengekspresikan ketidakpedulian mereka terhadap korban.
"Demi kepentingan korban dan juga demi kepentingan penegakan etik, tata beracara MKD semestinya disempurnakan untuk mengakomodasi prosedur baru yang memungkinkan MKD bisa berinisiatif dan proaktif dalam memulai atau melanjutkan proses penyelidikan etik terhadap anggota yang diduga melanggar kesusilaan maupun kasus pelanggaran etik lainnya".
Keempat, Komisi VIII tak transparan karena sembilan dari 16 rapat yang digelar dilakukan secara tertutup. Formappi menilai fakta ini seolah-olah mengonfirmasi dua kasus korupsi yang menjerat dua Menteri yang menjadi mitra Komisi VIII yakni Menteri Agama pada periode 2009-2014 dan Menteri Sosial yang belum lama ini menghadapi kasus korupsi terkait dana bansos.
"Ini menguatkan tenggara bahwa ketertutupan menjadi awal bencana, karena itu di masa mendatang Komisi-komisi perlu lebih transparan lagi. Kinerja yang membaik juga ditunjukkan oleh Badan-Badan DPR. Pun sama halnya dengan Komisi, membaiknya kinerja Badan-Badan itu tidak disertai keterbukaan. Hal itu misalnya terlihat pada rapat BAKN yang sekali menyelenggarakan rapat secara tertutup".
Kelima, proses pengambilan keputusan di Rapat Paripurna cenderung menjadi sekedar formalitas. Bahkan prosedur standar sebelum pengambilan keputusan yang biasanya didahului dengan penyampaian pendapat fraksi-fraksi tidak dilakukan pada saat Rapat Paripurna Penutupan MS V dimana DPR akan memutuskan perpanjangan proses pembahasan RUU dan memutuskan RUU sebagai RUU inisiatif DPR.
Selain itu, proses pengetukan palu sebagai tanda sebuah keputusan disepakati Paripurna juga cenderung sesuka hati Pemimpin rapat, tanpa perlu mengonfirmasi sikap anggota DPR yang hadir, Pimpinan bisa langsung mengetuk palu pertanda sahnya kesepakatan Paripurna.
"Dengan demikian proses itu menjadi tak bermakna ketika dilakukan sekedar untuk formalitas saja. Di sisi lain, anggota DPR tetap saja malas menghadiri Rapur, bahkan agar memenuhi kuorum acap kali anggota yang ijin dianggap hadir sehingga terjadi maladministrasi, bahkan korupsi," kata laporan itu.
Terakhir, Formappi mengkritik penambahan Fungsi Diplomasi Parlemen sebagai fungsi keempat DPR setelah legislasi, anggaran, dan pengawasan. Menurutnya, urusan diplomasi merupakan urusan pemerintah dan peran DPR tetap sebagai Pengawas. Formappi menyayangkan MS V dan sebelumnya pada periode ini, kesibukkan DPR dalam menjalankan fungsi Diplomasi seolah-olah mengalahkan tugas dan fungsi pokok mereka di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan.
"Pelaksanaan peran diplomasi yang selama ini dilakukan DPR tak jelas, pun demikian dengan hasilnya. Yang justru diekspresikan dari aktivitas diplomasi ala DPR itu adalah sikap narsis lain dari DPR," ujarnya.
Oleh sebab itu, Formappi mendesak agar DPR kembali fokus dengan fungsi pokok mereka yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan. Jangan sampai peran diplomasi anggota DPR mengalahkan ketiga fungsi pokok tersebut.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco merespons evaluasi yang disampaikan oleh Formappi. Ia menyebut pihaknya berkomitmen memperbaiki kinerja DPR.
"Kami berkomiten memperbaiki kinerja-kinerja DPR," kata Dasco saat dihubungi, Sabtu (13/8).
(lna/ain)