Sejumlah organisasi yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil mendesak Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) membatalkan Keputusan Presiden (Keppres) penyelesaian pelanggaran HAM berat lewat jalur nonyudisial.
Bagian dari koalisi, Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai Keppres tersebut hanya memperlihatkan watak pemerintah yang ingin mencari jalan pintas menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu.
Mereka menilai tim Penyelesaian Pelanggaran HAM berat yang ditunjuk Jokowi lewat Keppresnya adalah cara pemerintah melayani para pelanggar HAM berat masa lalu agar terhindar dari mekanisme yudisial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Presiden RI Membatalkan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu," kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dalam keterangannya, Rabu (17/8).
Pihaknya menduga keputusan tersebut tak lepas dari konflik kepentingan para penguasa. Dia terlebih mempertanyakan efektifitas penuntasan pelanggaran HAM berat lewat jalur nonyudisial tersebut.
Fatia menerangkan penuntasan pelanggaran HAM hingga pemulihannya telah diatur dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut Fatia, jika regulasi lewat UU tidak berhasil karena tidak digunakan serius, apalagi oleh tim yang dibentuk tanpa partisipasi publik yang memadai ini.
"Kami melihat upaya untuk memisahkan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu berbasis metode yudisial dan nonyudisial hanya sebagai kamuflase," kata dia.
Sementara itu, Ketua YLBHI Bidang Advokasi dan Jaringan, Zainal Arifin, menilai Keppres penuntasan HAM lewat jalur nonyudisial telah mengabaikan upaya keluarga korban yang selama ini mencari keadilan.
Keppres tersebut, kata Zainal, seolah-olah menganggap bahwa kompensasi dapat mengganti proses pidana penyelesaian kasus-kasus tersebut. Padahal, selama ini baik korban maupun keluarga telah menerima kerugian lebih besar dalam bentuk stigma negatif di masyarakat.
"Tidak hanya stigma, dalam prosesnya juga terhambat hak-hak untuk mendapat pelayanan hukum, tidak diberikan akses atau aksesnya dibatasi, saya rasa itu kerugian besar," kata Zainal.
Selain itu, Setara Institute menilai Keppres itu akan menguatkan impunitas dan memutihkan pelanggar HAM berat masa lalu. Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan Keppres tersebut menunjukkan bahwa Jokowi tidak mampu dan tidak mampu menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM.
"Setara Institute memandang pembentukan 'Tim PAHAM' hanyalah proyek mempertebal impunitas dan pemutihan pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas diselesaikan negara," kata Hendardi dalam keterangan pers, Selasa (16/8).
Berdasarkan draf Keppres yang beredar, Hendardi mengatakan tim bentukan Jokowi itu beranggotakan sejumlah orang yang dianggap bermasalah terkait pelanggaran HAM masa lalu.
Menurut dia, alih-alih memproses kasus pelanggaran HAM sesuai mandat UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Jokowi justru menutup rapat tuntutan publik dan harapan korban akan kebenaran dan keadilan.
Sebagai informasi, dalam pidato kebangsaan di Sidang Tahunan MPR, Jokowi sebelumnya mengaku telah menandatangani Keppres tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial untuk Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu.
Jokowi mengatakan pemerintah akan terus berupaya menindaklanjuti semua temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait pelanggaran HAM berat.
"Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu telah saya tanda tangani," kata Jokowi di kompleks Parlemen, Selasa (16/8).
(thr/kid)