Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai peran pengawasan publik terhadap terungkapnya kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang melibatkan Mantan Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo lebih besar ketimbang lembaga eksekutif seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Padahal katanya, Kompolnas lah yang memiliki peran dan fungsi sebagai pengawas Polri. Ia mengatakan pengawasan publik itu dilakukan melalui media massa hingga LSM.
"Dalam kasus Ferdy Sambo kemarin saya kira kelihatan sekali yang paling kuat itu adalah pengawasan publik. Pengawasan publik media massa, pengawasan publik lewat lembaga-lembaga masyarakat," kata Usman dalam diskusi daring, Sabtu (27/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalaupun ada Kompolnas yang anggota-anggotanya Pak Mahfud. Pak Mahfud sangat kritis tapi anggotanya di bawah terlihat sekali mengikuti apa yang justru salah dijelaskan oleh pihak kepolisian," ujarnya.
Tak hanya Kompolnas, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai pengawas eksternal, kata dia, juga sempat memble pada awal kasus pembunuhan Brigadir J berjalan.
Komnas HAM katanya, justru terlihat mengikuti skenario lembaga kepolisian
"Kemudian baru belakangan mulai terlihat lebih baik," kata Usman.
Menurutnya, hal itu sebenarnya tidak boleh terjadi. Kepolisian katanya harus mulai menumbuhkan kepekaan terhadap hal-hal yang bersifat penting dalam menjaga independensi kepolisian.
Ia mengatakan kepolisian tidak boleh jatuh di lubang yang terdalam setelah mengalami reformasi dan transisi perbaikan yang cukup positif karena itu bisa menjadi masalah serius sebagaimana terjadi pada kasus Sambo.
"Masalah kultural, instrumental, struktural dalam kasus Ferdy sambo ini bukan hanya soal pembunuhan dan pembunuhannya juga direkayasa ditutupi dengan begitu canggih, sehingga seolah bukan seperti pembunuhan yang melibatkan begitu banyak orang tapi juga proses pengusutannya pun begitu lambat di awal," sambungnya.
(lna/agt)